CERPEN : Andai aku bisa memilih

by Iman Tumorang , at 6:59 PM , have 0 comments
Andai aku bisa memilih

            Mendung tebal menyelimuti langit hari ini. Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi pipiku. Kukencangkan ikatan tali sepatuku, lalu aku berlari sekencang yang aku bisa menuju sekolah. Setibanya aku di sekolah, aku sudah melihat rival-rivalku memasuki ruang laboratorium Kimia. Hari ini sekolahku menjadi tempat diselenggarakannya Olimpiade Sains Nasional khusus bidang Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Aku dan musuh bebuyutanku sejak SD yaitu Janet Jeun menjadi duta dari sekolah sekaligus duta dari provinsi kami, provinsi Yogyakarta dalam bidang Kimia. Sedangkan dalam bidang Fisika dan Matematika, provinsi kami diwakili oleh Felicia dan Kelvin yang merupakan teman sekelasku juga. Karena waktu ujian hampir dimulai aku pun segera memasuki laboratorium yang disusul oleh para pengawas panitia olimpiade. Lembar soal pun dibagikan. Sebelum memulai mengerjakan soal kami diberi instruksi tentang hal-hal apa yang boleh dan tak boleh kami lakukan. “ Waktu pengerjaan soal dimulai sekarang dan akan berakhir empat jam kemudian. “ kata seorang pengawas berperawakan tinggi dan berwajah rupawan. Dengan segera aku mengerjakan soal apa yang bisa kukerjakan. Pastinya soal yang lebih mudah terdahulu. Menurutku sih soal-soal ini sangat sulit, sulit tingkat dewa. Hanya terdiri dari lima soal esai, tapi soal ini terasa seperti 10.000 soal. Soal ini berhasil mengerjai aku, berhasil memutar-mutar otak dan perutku. Serasa ingin mual jadinya. Tak terasa empat jam sudah berlalu. “ Waktu pengerjaan soal sudah habis. Seluruh peserta sudah boleh meninggalkan ruang ujian. “ sergah salah seorang panitia. Aku dan para peserta pun menyudahi kerja kami dan bergerak menuju luar ruangan.
            Sembari menunggu pengumuman pemenang aku bertemu dengan teman-temanku yang lain. Temanku Kelvin jagonya Olimpia Matematika kelihatan stres dan sedikit pucat. Berbeda sekali dengan temanku Felicia yang bisaa kami panggil ’ Queen of Physic ‘. Maklumlah sejak SMP dia sudah menjadi langganan juara Olimpiade Fisika nasional maupun internasional. Selanjutnya kami bergerak menuju kantin sekolah untuk menikmati santapan siang sambil bersenda gurau sejenak untuk melepas segala kepenatan.
            Beberapa jam telah berlalu, sekarang tepat pukul 18.00 WIB. Kami, seluruh peserta dikumpulkan di aula sekolah. Kini tiba saatnya pengumuman pemenang Olimpiade Sains Nasional ini. Aku berharap aku bisa mendapatkan medali emas, agar aku bisa mewakili sekolah sekaligus negara Indonesia di IChO ( International Chemistry Olimpiad ) ke-44 di Busan, Korea Selatan yang akan dihelat bulan Pebruari tahun depan.
            Sudah kuduga kedua temanku tadi, Kelvin dan Felicia berhasil meraih medali emas. Yang lebih mengagumkan lagi, Felicia berhasil meraih trofi ‘ Best experiment ‘ sekaligus trofi ‘ Absolute winner ‘. Luar bisaa! Aku bangga pada mereka. Sekarang pemenang bidang Kimia sedang dibacakan. “ Dan yang menjadi pemenang kedua adalah Filbert Goldio. “ kata panitia pembaca hasilnya. Aku sangat terkejut dan senang luar bisaa. Itu namaku, ya itu namaku. Ini berarti aku berhasil meraih medali emas. Peringkat pertama sampai kelima meraih medali emas, peringkat keenam sampai kelima belas meraih medali perak, dan peringkat keenam belas sampai peringkat ketigapuluh meraih medali perunggu. Segera aku maju ke mimbar dan menerima medali emasku. Tapi kebahagiaan itu hanya sementara. Aku terhentak ketika panitia mengumumkan bahwa yang menjadi pemenang pertama sekaligus berhasil meraih trofi’ Best experiment ‘ sekaligus trofi ‘ Absolute winner ‘ adalah Janet Jeun, musuh bebuyutanku. “ Kenapa harus dia? “ gerutuku dalam hati. Dia selalu menjadi yang pertama dan aku selalu menjadi yang kedua. Ini sangat menyesakkan dadaku. Dadaku terasa seperti disayat-sayat benda yang sangt tajam. Sakit sekali! Tapi tidak apa-apalah! Aku akan bertekad untuk mengalahkan dia di IchO tahun depan di Busan. Setelah pemenang olimpiade ini dibacakan, akhirnya Olimpiade Sains Nasional resmi ditutup oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Muhammad Nuh. Setelah itu aku dan rekan-rekanku bergegas untuk pulang karena hari ini mentari sudah berhenti bersinar digantikan oleh gelap gulita.
            Tak kusangka papa. mama, dan adikku telah menunggu di gerbang sekolah. Ayah mengendari mobil sedan yang baru kemarin dibelinya. Segera aku langsung masuk ke mobil dan memamerkan medali emasku. Keluargaku pun sangat senang dengan hasil yang kuperoleh. Papa dan mama menjanjikan hadiah sepesial yaitu liburan ke Venesia di Italia, kota yang kubangga-banggakan dan ingin rasanya nanti aku dan istriku tinggal disana. Hahaha. Khayalan yang terlalu jauh.
            Setibanya di rumah aku langsung bergegas menuju kamarku dan mengganti pakaian sekolahku. Aku langsung berbaring di atas tempat tidurku sambil menatap langit-langit kamarku. Hari ini sangat melelahkan. Menguras emosi dan energi dalam jiwa. Beberapa jam sudah berlalu. Kini jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB, tapi aku masih saja tak bisa tidur. Bayang-bayang kekalahan tadi selalu datang menghantui pikiranku. Perih rasanya di sapa kekalahan. Tapi walaupun begitu aku tetap masih bisa sedikit bersyukur.
***
            Pagi ini aku bangun agak sedikit terlambat. Mungkin karena semalam aku tidurnya kelamaan. Aku baru bisa tidur pukul 04.30 WIB. Jam sudah menunjukkan pukul 06.50 WIB. Segera kubasuh wajah dan kusikat gigiku. Lalu kupakai seragam dan sepatuku. Setelah itu kusantap sarapan yang disiapkan mama di meja makan dengan terburu-buru. Lalu aku berpamitan kepada mama dan masuk ke mobil karena papa dan adikku sudah menungguku sejak 15 menit yang lalu. Kami pun berangkat. Di jalan aku berharap agar tidak macet, supaya aku tidak terlambat ke sekolah. Mungkin hari ini aku sedang beruntung, jalanan terlihat lengang.
            Akhirnya mobil pun tiba di sekolah. Aku berpamitan pada papa dan langsung berlari menuju ke gerbang sekolah. Setibanya di gerbang sekolah aku mengawalinya dengan senyuman. Aku berharap hari ini akan lebih baik dari hari kemarin. Teman-teman sekelasku XI Ipa 1 sibuk menyalami kami berempat yaitu aku, Kelvin, Felicia, dan Janet. Mereka bangga dengan kami yang berhasil meraih medali emas dan akan mewakili Indonesia di ajang Olimpiade Internasional tahun depan. “ Siswa-siswi kami yang bernama Felicia, Janet, Kevin, dan Filbert diharapkan untuk datang ke ruang Kepala Sekolah sekarang juga. “ kata seseorang dari mikrofon. Kami segera bergegas ke ruang Kepala Sekolah. Kami disambut hangat oleh Kepala Sekolah kami, Bapak Sukirman Widyodiningrat. “ Agak katro sih namanya. “ kataku dalam hati. Hahaha. Kami diberi instruksi bahwa selama bulan Nopember ini kami akan disibukkan dengan pelatnas ( pelatihan nasional ) di Jakarta dalam rangka persiapan menjelang Olimpiade Internasional empat bulan lagi, tepatnya bulan Pebruari tahun depan. Kami diberikan waktu untuk berkemas dan mempersiapkan segala keperluan kami untuk keesokan harinya. Kami akan berkumpul di bandara Adi Sucipto pukul 09.00 WIB esok hari.
***
            Keesokan harinya kami berempat sudah tiba di bandara Adi Sucipto. Kamidiantar oleh keluarga kami masing-masing. “ Pesawat keberangkatan Jakarta pukul 09.30 WIB akan segera berangkat. Diharapkan kepada seluruh penumpang untuk segera bergegas memasuki pesawat. “ suara mengagetkan dari speaker yang kami dengar. Kami pun berpisah dengan sanak keluarga kami. Memang sedikit agak berat meninggalkan papa, mama,adik, dan kota tercinta Yogyakarta. “ Tapi ya sudahlah. Aku harus menang! “ tekadku dalam hati.
            Kami berempat pun memasuki pesawat. Aku duduk di samping orang yang paling kubenci yaitu Janet. Kelvin dan Felicia duduk di depanku. Pesawat kami pun lepas landas. Secara reflek aku menggemgam tangan Janet, maklumlah goncangan di pesawat sangat keras. Setelah aku sadar aku segera melepaskan tanganku dari tangan Janet. “ Maaf ! “ kataku. Dia hanya terdiam saja seolah tidak terjadi apa-apa. Pipinya dan pipiku kelihatan memerah. Mendadak dadaku berdebar kencang serasa terbang ke langit ketujuh. “ Entah perasaan apa ini? Tapi kupastikan ini bukan cinta. “ ketusku dalam hati. Bagaimana mungkin aku menyukai orangyang paling kubenci?
            Kami pun tiba di bandara Halim Perdana Kusuma pukul 10.40 WIB. Seseorang dengan perawakan agak tinggi dan postur badan tegap yang memakai jas hitam datang menjemput kami. Dibawanya kami masuk ke dalam mobil yang bertuliskan ‘ Dinas Provinsi DKI Jakarta’ menuju Hotel Kartika di daerah Jakarta Selatan. Di sanalah tempat kami akan tinggal selama sebulan ini. Keadaan kota Jakarta sangat berbanding terbalik dengan kota kelahiranku, Yogyakarta. Di sini hawanya terasa sedikit panas, taburan debu sangat luar bisaa banyaknya, dan sampah kelihatan berserakan di mana-mana.
            Setibanya di Hotel kami disambut dengan tulisan di spanduk yang dipajang di lobi hotel yang bertuliskan “ Selamat datang kontingen pemenang Olimpiade Sains Nasional 2012. “ Hal ini cukup membanggakan buat kami. Andai saja keluargaku juga ikut ke sini, kupastikan mereka akan bangga sekali. Hotel ini sangat elegan dengan suasana klasik di sepanjang lobi hotel. Hotel ini sangat luar bisaa indahnya. Kemudian seorang petugas hotel datang menghampiri kami dan membawa kunci kamar kami yang diberikan oleh Recepcionist. Aku menginap di kamar nomor 212, Kelvin di kamar 213, Janet di kamar 214, Felicia di kamar 215. Kamarku tepat bersebelahan dengan kamar Janet.
***
            Keeseokan harinya kami sudah bersiap untuk berangkat menuju tempat pelatnas. Tapi sebelumnya kami ada sarapan dulu. Makanan yang disajikan tidak seenak makanan yang dibuat mamaku. Memang benar kata orang-orang bahwa masakan mama itu adalah masakan terenak sedunia. Setelah sarapan kami dan rombongan pemenang Olimpiade Sains Nasional yang lain memasuki bus rombongan kami. Perjalanan dari hotel menuju tempat pelatnas sekitar 20 menit. Cukup lama menurutku.
            Setibanya di tempat pelatnas kami dipisah sesuai dengan bidang studi kami masing-masing. Aku, Janet, dan 3 peraih medali emas Kimia lainnya bergerak menuju laboratorium Kimia. Sebelum memulai untuk bereksperimen kami dibagikan jas putih, masker, dan perlengkapan lainnya oleh salah seorang petugas laboratorium. Agenda kami hari ini adalah mempraktekkan serta mengamati bagaimana katalis dapat mempercepat reaksi kimia dan mereaksikan senyawa Benzena dengan Asam Nitrat pekat. “ Kami terlihat seperti Peneliti saja. “ pikirku.
            Setelah waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB kami meningggalkan laboratorium untuk makan siang. Kami menyudahi eksperimen hari ini dan melepas semua perlengkapan laboratorium. Ketika keluar dari laboratorium aku melihat hidung Janet mengeluarkan tetesan darah. Dengan segera kurogoh saku celanaku dan kuambil sapu tanganku. Dengan segera aku membersihkan darah di hidung Janet dengan hati-hati. Lalu aku bertanya, “ kamu gak apa-apakan? “ Dia membalasnya, “ aku gak apa-apa. Makaih ya! “ “ Oke. Sama! “ balasku. Sejak itu aku mulai membuka diri dan mulai bersahabat dengan Janet.
            Setelah kami menghabiskan santapan siang yang disajikan kami pun pulang ke hotel. Beristirahat sejenak dari kelelahan dan kepenatan dalam belajar. Malam harinya aku sudah janjian akan mengadakan diskusi dengannya. Kuketuk pintu kamarnya. Aku terpesona melihatnya ketika dia membuka pintu. Dia kelihatan cantik dengan balutan baju tidur yang ia kenakan. Sederhana sekali, tapi sangat menawan. Segera kualihkan pandanganku sebelum dia berpikir yang aneh-aneh. Sebelum memulai diskusi dia mengambilkan segelas air hangat untukku, katanya biar gak masuk angin. Sembari dia mengambil segelas air hangat untukku, ada sesuatu yang mengganggu pandanganku. Aku melihat ada banyak obat-obatan di samping tempat tidurnya. Kuambil beberapa bagian dari obatnya untuk diteliti oleh Ayahku yang berprofesi sebagai Dokter tanpa sepengetahuan Janet. Begitulah kami melalui hari-hari dalam sebulan dengan terus belajar dan belajar.
***

            Sebulan pun telah berlalu. Kami berkemas untuk pulang kembali ke Yogyakarta. Kami sudah sangat kangen dengan sanak keluarga kami. Perjalanan pun kami mulai menuju bandara Soekarno-Hatta. Setibanya di sini kamu segera memasuki pesawat yang akan kami tumpangi menuju Yogyakarta. Posisi duduk kami di pesawat sama seperti pertama ketika kami akan berangkat menuju Jakarta. Di dalam pesawat aku sedikit terkejut ketika Janet tidur di pundakku. “ Mungkin dia kelelahan. “ pikirku. Berlama-lama kupandangi wajahnya yang cantik itu. Kuberanikan diriku untuk membelai rambutnya yang hitam. Kuambil jaket dari tasku lalu kuselimuti dia dengan jaket itu. Dan kini aku tahu. Aku telah menyukainya. Hatiku telah berlabuh di hatinya. Aku merasa nyaman di sampingnya. Sama halnya seperti gugus fungsi senyawa karbon, hatiku dan hatinya telah berikatan membentuk sikloheksana. Hatiku dan hatinya telah bersatu dalam lingkaran cinta itu. Cinta itu tidak memiliki ujung dan cinta itu sama dengan limit nol tak terhingga nilainya.
             Setibanya di bandara Adi Sucipto , kami telah ditunggu oleh sanak keluarga kami masing-masing. Aku segera memeluk papa, mama, dan adikku yang sudah sangat kurindukan. Masing-masing kami pun pulang menuju rumah kami masing-masing.Setibanya di rumah aku bergegas menuju kamarku, tempat dimana aku menghabiskan berjam-jam waktuku setiap hari untuk beristirahat dan melakukan kegiatan yang lain-lain. Kurebahkan diriku sejenak di atas tempat tidurku. Terlintas dalam benakku bayang-bayang wajah Janet. Aku terbayang dengan kejadian-kejadian romantis kemarin yang telah berlalu.
            Di malam hari aku pergi ke ruang kerja Papa untuk menanyakan obat apakah yang dimakan oleh Janet selama ini. Setelah beberapa menit meneliti Papaku berkata, “ Ini obat dikonsumsi oleh penderita kanker darah stadium akut. “ Aku terhentak dan hening sejenak mendengar penjelasan Papa. Lalu Papa bertanya lagi, “ Dari mana kamu dapatkan obat ini Filbert? “ “ Dari jalan Pa. “ jawabku sekenanya. Aku langsung bergegas pergi kekamar dan meninggalkan ruang kerja Papa. Aku masih terus terbayang dengan perkataan Papa tadi. Hampir tidak bisa aku tidur dibuatnya. “ Aku belum siap kehilangan dia Tuhan. Aku baru saja berteman dan menyukai dia Tuhan. Aku masih ingin mengenalnya lagi Tuhan. Tolong sembuhkan penyakitnya Tuhan dan berkati setiap obat yang dia makan Tuhan. Ku berdoa untuk dia yang kucinta Tuhan. Kabulkanlah doa hambamu ini ya Tuhan. Amin. “ doaku dalam hati.
***
            Bulan Desember akan segera berakhir. Aku dan keluargaku pergi berlibur ke Venesia, Italia. Sesuai dengan hadiah special yang diberikan Papa kepadaku atas kemenanganku di Olimpiade Sains Nasional tiga bulan yang lalu. Kami akan menghabiskan waktu Natal dan Tahun Baru kami di sana. Ini akan menjadi liburan yang tak akan pernah kulupakan. Hal yang akan paling kuingat adalah ketika aku dan keluargaku mengitari sungai dengan gondola. Aku sempat menulis sepucuk surat dan memasukkannya ke dalam botol. Isi surat yang kutulis adalah :
                                                                                              Kamis, 28 Desember 2012
          Terimakasih Tuhan buat hari ini. Aku merasa sangat bahagia bisa berkumpul dengan keluargaku. Kiranya Tuhan tetap memberkati keluarga kecil kami ini. Tuhan ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, yang membuat liburanku kali ini terasa kurang sempurna. Tuhan aku belum siap untuk kehilangan Janet orang yang kucinta. Izinkanlah dia untuk sembuh Tuhan. ANDAI AKU BISA MEMILIH, aku ingin menukar hidupku untuknya Tuhan. Segala hal terindah tidak bisa kita lihat dan kita sentuh, semua itu hanya bisa di rasakan dengan hati yang tulus dan suci. Kau berikan aku kesadaran. Begitu indah cerita hidupku oleh senyummu.Kiranya Tuhan menjaga setiap hati dan pikiran orang yang kucintai dan mencintaiku. Terimakasih Tuhan. Amin.

Ku tenggelamkan surat itu. Berharap Tuhan akan menjawab setiap doa yang kuhaturkan.
***
            Hari ini kembali ke rutinitas bisaa, hari ini mulai sekolah lagi. Berharap tahun ini bisa menjadi tahun keberuntungan untukku dan semua orang. Sepulang sekolah aku pergi ke rumah Janet untuk berdiskusi lagi dalam rangka pemantapan kami untuk IChO tahun ini di Busan, Korea Selatan. Sebelum tiba di rumahnya aku membelikan sekuntum bunga Edelweis untuknya. Bunga ini disimbolkan sebagai cinta abadi oleh banyak orang.
            Setibanya di rumah Jane, kuketuk pintu rumahnya. Janet membuka pintunya dan segera mengajakku ke kamarnya. Sembari berjalan menuju kamarnya aku melihat foto-foto keluarga mereka. Janet kelihatan sangat cantik dalam foto itu. Harus kuakui memang setiap hari dia kelihatan cantik. Semakin cantik kalo ada aku disampingnya. Hahaha. Dipersilakannya aku masuk ke kamarnya dan dia minta izin untuk ke belakang sebentar mengambilkan makanan dan minuman untuk kami berdua.

            Sama seperti hari kemarin, aku masih melihat banyak obat-obatan di samping tempat tidurnya. Di meja belajarnya aku melihat sebuah sapu tangan. Sapu tangan itu terasa tidak asing lagi bagiku. Oh iya aku ingat. Itu sapu tangan yang kugunakan untuk membersihkan darah dari hidung Janet ketika sedang pelatnas. Aku sangat merasa senang. Ternyata dia menjaga sapu tangan yang kuberikan itu. Setelah itu aku melihat sebuah cermin antik di kamarnya. Aku sangat tertarik melihat cermin itu. Kelihatan kuno tapi sangat indah di pandang mata. Kudekati lagi cermin itu. Aku agak terkejut ketika kulihat sebuah sisir di dekat cermin itu dengan banyaknya helaian rambut rontok. Lalu aku melihat-lihat kamarnya lagi dengan penuh seksama dan aku menemukan sebuah diary di atas tempat tidurnya. Kuambil dengan segera diary itu tanpa sepengetahuan Janet dan kumasukkan ke dalam tasku. Aku sempat ragu untuk mengambilnya atau tidak.
            Beberapa menit kemudian Janet datang dengan nampan berisi penuh makanan dan minuman untuk kami. Lalu kuberikan bunga yang kubelikan tadi dalam perjalanan menuju rumah Janet. “ Terimakasih. “ jawabnya sambil tersipu malu. “ Maaf agak lama. “ katanya. “ Gak apa-apa kok. “ jawabku singkat. Kami pun memulai diskusi kami sore itu.
            Sepulang berdiskusi dari rumah Janet, aku langsung bergegas ke kamarku. Aku ingin tahu isi diary Janet. Aku sudah penasaran dibuatnya. Kumulai membaca dari halaman pertama.

                                                      Senin, 5 Nopember 2012
           
            Hari ini hidungku berdarah lagi. Rambutku semakin menipis. Tolong Tuhan kuatkan aku untuk melewati ini Tuhan. Terimakasih Tuhan telah menormalkan hubunganku dengan Filbert. Aku sangat tersentuh ketika dia membersihkan darah di hidungku dengan sapu tangannya. Aku akan menjaga sapu tangan itu sampai akhir hidupku. Sepertinya aku mulai menyukai dia Tuhan. Kuharap Tuhan bisa mendekatkan kami lagi. Terimakasih Tuhan. I love You.

Kulanjut lagi membaca diarynya

                                                                                                Kamis, 15 Nopember 2012

            Jika esok pagi menjelang, akan kutantang matahari yang terbangun dari tidur lelapnya.
Karena hanya sinarku lah yang kelak akan mampu menghangatkan dinginnya hatimu.
Aku gak tahu sampai kapan usiaku, tapi aku yakin cintaku selamanya untukmu.

Kulanjut lagi membacanya dengan perasaan pilu. Tak kusangka air mata mulai membasahi pipiku. Aku tidak pernah secengeng ini. Aku anak yang tegar. Kubalik lagi lembar diary itu.

                                                                                    Sabtu, 1 Desember 2012

            Bertemu denganmu adalah takdir, menjadi sahabatmu adalah pilihan.
Tapi jatuh cinta kepadamu itu di luar kemampuanku. Aku akan berjuang untuk sembuh hanya
untukmu. Aku akan terus memakan obat ini. Sampai obat ini menyerah dan membiarkanku hidup lebih lama lagi.

                                                                                    Jumat, 14 Desember 2012

            Andai aku bisa memilih, aku ingin lepas dari segala penyakit ini.
Ingin rasanya mataku merekam lebih banyak hal indah lagi untuk disimpan dalam memoriku.
Andai aku bisa memilih, aku ingin hidup seratus tahun lagi. Aku tidak ingin mengubur cita dan asa yang telah kuperjuangkan selama ini. Tolong Tuhan panjangkan umurku.

Semakin deras tetesan air mata yang membasahi pipiku. Kubalik lagi diary itu.

                                                                                    Rabu, 2 Januari 2013

Aku tak pernah menyesal mencintai mu, yang aku sesali mengapa tidak sejak dulu mencintaimu.
Aku tak pernah menysal bertemu denganmu, walaupun kita harus dipisahkan oleh kematian yang kita gak tahu kapan kita akan menutup mata untuk selamanya.
Bagiku kematian hanyalah ilusi semata, tidak menakutkan.
Kematian hanyalah suatu media agar aku bisa lebih dekat dengan Tuhan. Kalau cinta tidak bisa menyatukan kita saat ini, pastilah cinta akan menyatukan kita di waktuyang akan datang.


Kuhentikan membaca diary itu. Aku sudah tak sanggup lagi membacanya. Sangat menyayat hati. Ingin rasanya aku menukarkan hidupku untuknya. Kiranya Tuhan tetap memberkati dia sampai akhir. Kiranya Tuhan mengizinkan dia untuk hidup lebih lama lagi. Tuhan tolong bombing dia.
Kuatkan aku juga Tuhan bila aku harus kehilangan dirinya, walaupun aku tahu aku tak akanpernah siap kehilangan dirinya. Izinkan aku membahagiakan dia di waktu terakhirnya Tuhan.

***
            Januari telah berlalu. Kini aku siap menyambut Pebruari yang penuh harapan. Aku ingin mewujudkan sesuatu cita yang telah kutekadkan untuk meraihnya. Minggu depan aku dan temanku Janet akan berangkat ke Busan, Korea Selatan. Semoga aku dan dia bisa meraih hasil yang terbaik. Hari ini aku akan pergi lagi ke rumah Janet untuk melakukan diskusi yang terakhir. Setibanya aku di depan rumahnya, kuketuk pintu rumahnya. Ternyata yang membukanya adalah pembantu keluarga mereka. Lalu aku bertanya kepada bibi itu, “ Bi, Janetnya ada? “ Lalu bibi itu menjawab, “ Non Janet lagi gak di rumah den. Kemarin malam non Janet mengeluarkan banyak darah dari hidungnya hingga tak sadarkan diri. Sekarang non Janet sedang dirawat di rumah sakit den. “ beritahu si bibi. Segera aku berlari menuju rumah sakit tempat Janet di rawat. Perasaanku campur aduk. Aku berharap gak terjadi apa-apa dengan Jane.

            Setibanya aku di rumah sakit aku langsung bertanya kepada seorang perawat, “ Sus, Janet pasien pengidap kanker darah dirawat di kamar nomor berapa ya? “ Lalu suster itu menjawab, “ di kamar nomor 99. “ Segera aku berlari menuju ruangan itu. Aku melihat kedua orang tua Janet sedang menunggu di ruangan itu. Aku melihat wajah orang tua Janet terlihat sangat sedih dan sedikit pucat. Kuberanikan diriku untuk bertanya kepada Ibu Janet, “ Tante, kondisi Janet sudah gimana? “ Dengan berurai air mata Ibu Janet menjawab, “ Dia sedang koma nak. Ibu takut sekali kehilangan dia. Hanya dia yang kami punya. Ibu hanya berharap Tuhan member dia kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Dia punya cita-cita besar untuk menjadi seorang Scientist. Cita-cita yang diinginkannya sejak dia TK. “ Aku gak bisa berkata-kata lagi. Sesuatu terasa seperti membasahi pipiku. Aku gak sadar kalau aku telah menitikan air mata ketika mendengar cerita dari Ibu Janet. Sesekali kuintip Janet dari kaca bening yang terdapat dari pintu. Dia kelihatan sangat menderita. Sudah tidak tahan aku melihat kondisi Janet. Segera aku pulang dan pamitan kepada orang tua Janet.

***
            Seminggu telah berlalu, Janet masih saja koma. Sedangkan aku sudah tiba di bandara untuk berangkat ke Busan, Korea Selatan. Hanya aku sendiri yang jadi berangkat ke sana. Serasa tidak lengkap. Ada sesuatu yang menggangu pikiranku. Aku sangat mencemaskan keadaan Janet.
Aku didampingi oleh keluargaku dan pihak sekolah yang akan memberangkatkanku. Aku pamitan kepada mereka dan meminta doa dari mereka agar aku bisa memperoleh hasil terbaik.
Aku segera memasuki pesawat, karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas. Di dalam pesawat aku hanya terdiam. Berusaha untuk tidur tapi tetap saja tak bisa.

***
            Aku dan rombongan peserta IChO telah mendarat di bandara internasional Korea. Kami disambut hangat oleh warga dan pemerintah Korea. Aku melihat di kiri dan kananku orang-orang jenius yang akan menjadi lawan tandingku. Semuanya terasa asing. Keesokan harinya kompetisi pun dimulai. Aku berusaha untuk menjawab soal yang diberikan secermat dan seteliti mungkin. Aku tidak ingin melakukan kesalahan sedikit pun. Kupusatkan konsentrasiku dan mencoba melupakan hal-hal yang selama ini sering mengganggu pikiranku.

            Tes tertulis pun telah selesai kami kerjakan. Sekarang kami akan mengadakan tes eksperimen yang juga menentukan kami apakah kami layak menang atau tidak. Tes itupun berhasil kulalui dengan baik. Aku optimis untuk memenangkan kompetisi ini. Keesokan harinya para pemenang pun diumumkan. Aku sangat bangga dan senang luar bisaa ketika namaku disebutkan sebagai pemenang kedua sekaligus meraih medali emas. Aku berhasil membuat bangga Negara Indonesia, khususnya sekolah dan orang tuaku. Dalam hati aku berkata, “ Kemenangan ini untukmu Janet. Aku mencintaimu. “ Tapi entah kenapa tiba-tiba medali emas yang kupegang jatuh. Perasaanku tidak enak. Aku berharap tidak terjadi hal-hal yang buruk dengan orang-orang yang kucinta dan mencintai aku.

***
            Keesokan harinya kami berangkat pulang menuju Indonesia. Aku membelikan buah tangan untuk keluarga dan teman-temanku. Setelah beberapa jam berlalu aku dan rombongan tim IChO tiba di Indonesia. Kami disambut hangat oleh Menteri Pendidikan Nasional Indonesia, Bapak Muhammad Nuh. Beliau bangga dengan hasil yang kami peroleh. Segera kupeluk Ayah dan Ibuku. Mereka sangat bangga terhadapku. Aku pun bersyukur bisa menyenngkan orang tua dan mengharumkan nama sekolah serta Negara ini. Kemenangan ini serasa tidak lengkap karena tak ada Janet di sisiku.

            Setibanya aku di rumah aku langsung segera pergi menuju rumah Janet. Aku melihat suatu bendera kuning dikibarkan di depan rumah Janet. Perasaanku mendadak tidak enak. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku. Aku terkejut luar bisaa ketika aku memasuki rumah Janet. Ternyata yang meninggal adalah Janet. Tubuh Janet sudah terbujur kaku. Mendadak air mataku mengucur deras membasahi pipiku. Akhirnya hal yang paling kutakutkan selama ini terjadi juga. “ Tuhan kenapa harus secepat ini. Aku belum siap untuk kehilangan dia. “ kataku dalam hati. Siang itu juga Janet akan dikebumikan. Isak tangis mengiringi kepergian Janet.
***

            Hari ini adalah hari pertama di bulan April. Aku sudah berusaha untuk melupakan hal buruk yang terjadi bulan Pebruari kemarin. Aku telah mencoba berusaha keras untuk melupakan Janet, tapi tetap saja tidak bisa. Aku berusaha menjalani hari-hariku dengan senyuman. Walaupun senyuman itu tampak seperti dipaksakan. Aku menjadi pribadi yang murung. Aku sudah bertekad untuk menjalani hari baru dengan penuh senyuman dan harapan. Andai aku bisa memilih aku ingin menukarkan hidupku untuknya. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa dipertemukan lagi dengan Janet. Karena aku percaya jika cinta tidak bisa menyatukan kami saat ini, pastilah cinta akan menyatukan kami di waktu yang akan datang.




CERPEN : Andai aku bisa memilih
CERPEN : Andai aku bisa memilih - written by Iman Tumorang , published at 6:59 PM, categorized as Education , Story (Cerpen) . And have 0 comments
No comment Add a comment
Cancel Reply
GetID
Theme designed by Damzaky - Published by Proyek-Template
Powered by Blogger