Andai
aku bisa memilih
Mendung
tebal menyelimuti langit hari ini. Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi
pipiku. Kukencangkan ikatan tali sepatuku, lalu aku berlari sekencang yang aku
bisa menuju sekolah. Setibanya aku di sekolah, aku sudah melihat rival-rivalku
memasuki ruang laboratorium Kimia. Hari ini sekolahku menjadi tempat
diselenggarakannya Olimpiade Sains Nasional khusus bidang Matematika, Fisika,
Kimia, dan Biologi. Aku dan musuh bebuyutanku sejak SD yaitu Janet Jeun menjadi
duta dari sekolah sekaligus duta dari provinsi kami, provinsi Yogyakarta
dalam bidang Kimia. Sedangkan dalam bidang Fisika dan Matematika, provinsi kami
diwakili oleh Felicia dan Kelvin yang merupakan teman sekelasku juga. Karena
waktu ujian hampir dimulai aku pun segera memasuki laboratorium yang disusul
oleh para pengawas panitia olimpiade. Lembar soal pun dibagikan. Sebelum
memulai mengerjakan soal kami diberi instruksi tentang hal-hal apa yang boleh
dan tak boleh kami lakukan. “ Waktu pengerjaan soal dimulai sekarang dan akan
berakhir empat jam kemudian. “ kata seorang pengawas berperawakan tinggi dan
berwajah rupawan. Dengan segera aku mengerjakan soal apa yang bisa kukerjakan.
Pastinya soal yang lebih mudah terdahulu. Menurutku sih soal-soal ini sangat
sulit, sulit tingkat dewa. Hanya terdiri dari lima soal esai, tapi soal ini terasa seperti
10.000 soal. Soal ini berhasil mengerjai aku, berhasil memutar-mutar otak dan
perutku. Serasa ingin mual jadinya. Tak terasa empat jam sudah berlalu. “ Waktu
pengerjaan soal sudah habis. Seluruh peserta sudah boleh meninggalkan ruang
ujian. “ sergah salah seorang panitia. Aku dan para peserta pun menyudahi kerja
kami dan bergerak menuju luar ruangan.
Sembari
menunggu pengumuman pemenang aku bertemu dengan teman-temanku yang lain. Temanku
Kelvin jagonya Olimpia Matematika kelihatan stres dan sedikit pucat. Berbeda
sekali dengan temanku Felicia yang bisaa kami panggil ’ Queen of Physic ‘.
Maklumlah sejak SMP dia sudah menjadi langganan juara Olimpiade Fisika nasional
maupun internasional. Selanjutnya kami bergerak menuju kantin sekolah untuk
menikmati santapan siang sambil bersenda gurau sejenak untuk melepas segala
kepenatan.
Beberapa
jam telah berlalu, sekarang tepat pukul 18.00 WIB. Kami, seluruh peserta
dikumpulkan di aula sekolah. Kini tiba saatnya pengumuman pemenang Olimpiade
Sains Nasional ini. Aku berharap aku bisa mendapatkan medali emas, agar aku
bisa mewakili sekolah sekaligus negara Indonesia di IChO ( International
Chemistry Olimpiad ) ke-44 di Busan ,
Korea Selatan
yang akan dihelat bulan Pebruari tahun depan.
Sudah
kuduga kedua temanku tadi, Kelvin dan Felicia berhasil meraih medali emas. Yang
lebih mengagumkan lagi, Felicia berhasil meraih trofi ‘ Best experiment ‘
sekaligus trofi ‘ Absolute winner ‘. Luar bisaa! Aku bangga pada mereka.
Sekarang pemenang bidang Kimia sedang dibacakan. “ Dan yang menjadi pemenang
kedua adalah Filbert Goldio. “ kata panitia pembaca hasilnya. Aku sangat
terkejut dan senang luar bisaa. Itu namaku, ya itu namaku. Ini berarti aku
berhasil meraih medali emas. Peringkat pertama sampai kelima meraih medali
emas, peringkat keenam sampai kelima belas meraih medali perak, dan peringkat
keenam belas sampai peringkat ketigapuluh meraih medali perunggu. Segera aku
maju ke mimbar dan menerima medali emasku. Tapi kebahagiaan itu hanya
sementara. Aku terhentak ketika panitia mengumumkan bahwa yang menjadi pemenang
pertama sekaligus berhasil meraih trofi’ Best experiment ‘ sekaligus trofi ‘
Absolute winner ‘ adalah Janet Jeun, musuh bebuyutanku. “ Kenapa harus dia? “
gerutuku dalam hati. Dia selalu menjadi yang pertama dan aku selalu menjadi
yang kedua. Ini sangat menyesakkan dadaku. Dadaku terasa seperti disayat-sayat
benda yang sangt tajam. Sakit sekali! Tapi tidak apa-apalah! Aku akan bertekad
untuk mengalahkan dia di IchO tahun depan di Busan. Setelah pemenang olimpiade
ini dibacakan, akhirnya Olimpiade Sains Nasional resmi ditutup oleh Menteri
Pendidikan Nasional, Prof. Muhammad Nuh. Setelah itu aku dan rekan-rekanku
bergegas untuk pulang karena hari ini mentari sudah berhenti bersinar
digantikan oleh gelap gulita.
Tak
kusangka papa. mama, dan adikku telah menunggu di gerbang sekolah. Ayah
mengendari mobil sedan yang baru kemarin dibelinya. Segera aku langsung masuk
ke mobil dan memamerkan medali emasku. Keluargaku pun sangat senang dengan
hasil yang kuperoleh. Papa dan mama menjanjikan hadiah sepesial yaitu liburan
ke Venesia di Italia, kota
yang kubangga-banggakan dan ingin rasanya nanti aku dan istriku tinggal disana.
Hahaha. Khayalan yang terlalu jauh.
Setibanya
di rumah aku langsung bergegas menuju kamarku dan mengganti pakaian sekolahku.
Aku langsung berbaring di atas tempat tidurku sambil menatap langit-langit
kamarku. Hari ini sangat melelahkan. Menguras emosi dan energi dalam jiwa.
Beberapa jam sudah berlalu. Kini jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB, tapi
aku masih saja tak bisa tidur. Bayang-bayang kekalahan tadi selalu datang
menghantui pikiranku. Perih rasanya di sapa kekalahan. Tapi walaupun begitu aku
tetap masih bisa sedikit bersyukur.
***
Pagi
ini aku bangun agak sedikit terlambat. Mungkin karena semalam aku tidurnya
kelamaan. Aku baru bisa tidur pukul 04.30 WIB. Jam sudah menunjukkan pukul
06.50 WIB. Segera kubasuh wajah dan kusikat gigiku. Lalu kupakai seragam dan
sepatuku. Setelah itu kusantap sarapan yang disiapkan mama di meja makan dengan
terburu-buru. Lalu aku berpamitan kepada mama dan masuk ke mobil karena papa
dan adikku sudah menungguku sejak 15 menit yang lalu. Kami pun berangkat. Di
jalan aku berharap agar tidak macet, supaya aku tidak terlambat ke sekolah.
Mungkin hari ini aku sedang beruntung, jalanan terlihat lengang.
Akhirnya
mobil pun tiba di sekolah. Aku berpamitan pada papa dan langsung berlari menuju
ke gerbang sekolah. Setibanya di gerbang sekolah aku mengawalinya dengan
senyuman. Aku berharap hari ini akan lebih baik dari hari kemarin. Teman-teman
sekelasku XI Ipa 1 sibuk menyalami kami berempat yaitu aku, Kelvin, Felicia,
dan Janet. Mereka bangga dengan kami yang berhasil meraih medali emas dan akan
mewakili Indonesia
di ajang Olimpiade Internasional tahun depan. “ Siswa-siswi kami yang bernama
Felicia, Janet, Kevin, dan Filbert diharapkan untuk datang ke ruang Kepala
Sekolah sekarang juga. “ kata seseorang dari mikrofon. Kami segera bergegas ke
ruang Kepala Sekolah. Kami disambut hangat oleh Kepala Sekolah kami, Bapak
Sukirman Widyodiningrat. “ Agak katro sih namanya. “ kataku dalam hati. Hahaha.
Kami diberi instruksi bahwa selama bulan Nopember ini kami akan disibukkan
dengan pelatnas ( pelatihan nasional ) di Jakarta
dalam rangka persiapan menjelang Olimpiade Internasional empat bulan lagi,
tepatnya bulan Pebruari tahun depan. Kami diberikan waktu untuk berkemas dan
mempersiapkan segala keperluan kami untuk keesokan harinya. Kami akan berkumpul
di bandara Adi Sucipto pukul 09.00 WIB esok hari.
***
Keesokan
harinya kami berempat sudah tiba di bandara Adi Sucipto. Kamidiantar oleh
keluarga kami masing-masing. “ Pesawat keberangkatan Jakarta pukul 09.30 WIB akan segera
berangkat. Diharapkan kepada seluruh penumpang untuk segera bergegas memasuki
pesawat. “ suara mengagetkan dari speaker yang kami dengar. Kami pun berpisah
dengan sanak keluarga kami. Memang sedikit agak berat meninggalkan papa,
mama,adik, dan kota tercinta Yogyakarta .
“ Tapi ya sudahlah. Aku harus menang! “ tekadku dalam hati.
Kami
berempat pun memasuki pesawat. Aku duduk di samping orang yang paling kubenci
yaitu Janet. Kelvin dan Felicia duduk di depanku. Pesawat kami pun lepas
landas. Secara reflek aku menggemgam tangan Janet, maklumlah goncangan di pesawat
sangat keras. Setelah aku sadar aku segera melepaskan tanganku dari tangan
Janet. “ Maaf ! “ kataku. Dia hanya terdiam saja seolah tidak terjadi apa-apa.
Pipinya dan pipiku kelihatan memerah. Mendadak dadaku berdebar kencang serasa
terbang ke langit ketujuh. “ Entah perasaan apa ini? Tapi kupastikan ini bukan
cinta. “ ketusku dalam hati. Bagaimana mungkin aku menyukai orangyang paling
kubenci?
Kami
pun tiba di bandara Halim Perdana Kusuma pukul 10.40 WIB. Seseorang dengan
perawakan agak tinggi dan postur badan tegap yang memakai jas hitam datang
menjemput kami. Dibawanya kami masuk ke dalam mobil yang bertuliskan ‘ Dinas
Provinsi DKI Jakarta’ menuju Hotel Kartika di daerah Jakarta Selatan. Di
sanalah tempat kami akan tinggal selama sebulan ini. Keadaan kota
Jakarta sangat berbanding terbalik dengan kota kelahiranku, Yogyakarta .
Di sini hawanya terasa sedikit panas, taburan debu sangat luar bisaa banyaknya,
dan sampah kelihatan berserakan di mana-mana.
Setibanya
di Hotel kami disambut dengan tulisan di spanduk yang dipajang di lobi hotel
yang bertuliskan “ Selamat datang kontingen pemenang Olimpiade Sains Nasional
2012. “ Hal ini cukup membanggakan buat kami. Andai saja keluargaku juga ikut
ke sini, kupastikan mereka akan bangga sekali. Hotel ini sangat elegan dengan
suasana klasik di sepanjang lobi hotel. Hotel ini sangat luar bisaa indahnya. Kemudian
seorang petugas hotel datang menghampiri kami dan membawa kunci kamar kami yang
diberikan oleh Recepcionist. Aku menginap di kamar nomor 212, Kelvin di kamar
213, Janet di kamar 214, Felicia di kamar 215. Kamarku tepat bersebelahan
dengan kamar Janet.
***
Keeseokan
harinya kami sudah bersiap untuk berangkat menuju tempat pelatnas. Tapi
sebelumnya kami ada sarapan dulu. Makanan yang disajikan tidak seenak makanan
yang dibuat mamaku. Memang benar kata orang-orang bahwa masakan mama itu adalah
masakan terenak sedunia. Setelah sarapan kami dan rombongan pemenang Olimpiade
Sains Nasional yang lain memasuki bus rombongan kami. Perjalanan dari hotel
menuju tempat pelatnas sekitar 20 menit. Cukup lama menurutku.
Setibanya
di tempat pelatnas kami dipisah sesuai dengan bidang studi kami masing-masing.
Aku, Janet, dan 3 peraih medali emas Kimia lainnya bergerak menuju laboratorium
Kimia. Sebelum memulai untuk bereksperimen kami dibagikan jas putih, masker,
dan perlengkapan lainnya oleh salah seorang petugas laboratorium. Agenda kami
hari ini adalah mempraktekkan serta mengamati bagaimana katalis dapat mempercepat reaksi kimia dan mereaksikan senyawa Benzena dengan Asam Nitrat pekat. “ Kami terlihat seperti Peneliti saja. “
pikirku.
Setelah
waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB kami meningggalkan laboratorium untuk makan
siang. Kami menyudahi eksperimen hari ini dan melepas semua perlengkapan
laboratorium. Ketika keluar dari laboratorium aku melihat hidung Janet
mengeluarkan tetesan darah. Dengan segera kurogoh saku celanaku dan kuambil
sapu tanganku. Dengan segera aku membersihkan darah di hidung Janet dengan
hati-hati. Lalu aku bertanya, “ kamu gak apa-apakan? “ Dia membalasnya, “ aku
gak apa-apa. Makaih ya! “ “ Oke. Sama! “ balasku. Sejak itu aku mulai membuka
diri dan mulai bersahabat dengan Janet.
Setelah
kami menghabiskan santapan siang yang disajikan kami pun pulang ke hotel.
Beristirahat sejenak dari kelelahan dan kepenatan dalam belajar. Malam harinya
aku sudah janjian akan mengadakan diskusi dengannya. Kuketuk pintu kamarnya.
Aku terpesona melihatnya ketika dia membuka pintu. Dia kelihatan cantik dengan
balutan baju tidur yang ia kenakan. Sederhana sekali, tapi sangat menawan.
Segera kualihkan pandanganku sebelum dia berpikir yang aneh-aneh. Sebelum
memulai diskusi dia mengambilkan segelas air hangat untukku, katanya biar gak
masuk angin. Sembari dia mengambil segelas air hangat untukku, ada sesuatu yang
mengganggu pandanganku. Aku melihat ada banyak obat-obatan di samping tempat
tidurnya. Kuambil beberapa bagian dari obatnya untuk diteliti oleh Ayahku yang
berprofesi sebagai Dokter tanpa sepengetahuan Janet. Begitulah kami melalui
hari-hari dalam sebulan dengan terus belajar dan belajar.
***
Sebulan
pun telah berlalu. Kami berkemas untuk pulang kembali ke Yogyakarta .
Kami sudah sangat kangen dengan sanak keluarga kami. Perjalanan pun kami mulai
menuju bandara Soekarno-Hatta. Setibanya di sini kamu segera memasuki pesawat
yang akan kami tumpangi menuju Yogyakarta .
Posisi duduk kami di pesawat sama seperti pertama ketika kami akan berangkat
menuju Jakarta .
Di dalam pesawat aku sedikit terkejut ketika Janet tidur di pundakku. “ Mungkin
dia kelelahan. “ pikirku. Berlama-lama kupandangi wajahnya yang cantik itu.
Kuberanikan diriku untuk membelai rambutnya yang hitam. Kuambil jaket dari
tasku lalu kuselimuti dia dengan jaket itu. Dan kini aku tahu. Aku telah
menyukainya. Hatiku telah berlabuh di hatinya. Aku merasa nyaman di sampingnya.
Sama halnya seperti gugus fungsi senyawa karbon, hatiku dan hatinya telah
berikatan membentuk sikloheksana. Hatiku dan hatinya telah bersatu dalam
lingkaran cinta itu. Cinta itu tidak memiliki ujung dan cinta itu sama dengan limit
nol tak terhingga nilainya.
Setibanya di bandara Adi Sucipto , kami telah
ditunggu oleh sanak keluarga kami masing-masing. Aku segera memeluk papa, mama,
dan adikku yang sudah sangat kurindukan. Masing-masing kami pun pulang menuju
rumah kami masing-masing.Setibanya di rumah aku bergegas menuju kamarku, tempat
dimana aku menghabiskan berjam-jam waktuku setiap hari untuk beristirahat dan
melakukan kegiatan yang lain-lain. Kurebahkan diriku sejenak di atas tempat
tidurku. Terlintas dalam benakku bayang-bayang wajah Janet. Aku terbayang dengan
kejadian-kejadian romantis kemarin yang telah berlalu.
Di
malam hari aku pergi ke ruang kerja Papa untuk menanyakan obat apakah yang
dimakan oleh Janet selama ini. Setelah beberapa menit meneliti Papaku berkata,
“ Ini obat dikonsumsi oleh penderita kanker darah stadium akut. “ Aku terhentak
dan hening sejenak mendengar penjelasan Papa. Lalu Papa bertanya lagi, “ Dari
mana kamu dapatkan obat ini Filbert? “ “ Dari jalan Pa. “ jawabku sekenanya. Aku langsung
bergegas pergi kekamar dan meninggalkan ruang kerja Papa. Aku masih terus
terbayang dengan perkataan Papa tadi. Hampir tidak bisa aku tidur dibuatnya. “
Aku belum siap kehilangan dia Tuhan. Aku baru saja berteman dan menyukai dia
Tuhan. Aku masih ingin mengenalnya lagi Tuhan. Tolong sembuhkan penyakitnya
Tuhan dan berkati setiap obat yang dia makan Tuhan. Ku berdoa untuk dia yang
kucinta Tuhan. Kabulkanlah doa hambamu ini ya Tuhan. Amin. “ doaku dalam hati.
***
Bulan
Desember akan segera berakhir. Aku dan keluargaku pergi berlibur ke Venesia,
Italia. Sesuai dengan hadiah special yang diberikan Papa kepadaku atas
kemenanganku di Olimpiade Sains Nasional tiga bulan yang lalu. Kami akan
menghabiskan waktu Natal dan Tahun Baru kami di sana . Ini akan menjadi
liburan yang tak akan pernah kulupakan. Hal yang akan paling kuingat adalah
ketika aku dan keluargaku mengitari sungai dengan gondola. Aku sempat menulis
sepucuk surat
dan memasukkannya ke dalam botol. Isi surat
yang kutulis adalah :
Kamis,
28 Desember 2012
Terimakasih Tuhan buat hari ini. Aku merasa sangat bahagia bisa
berkumpul dengan keluargaku. Kiranya Tuhan tetap memberkati keluarga kecil kami
ini. Tuhan ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, yang membuat liburanku kali
ini terasa kurang sempurna. Tuhan aku belum siap untuk kehilangan Janet orang
yang kucinta. Izinkanlah dia untuk sembuh Tuhan. ANDAI AKU BISA MEMILIH, aku
ingin menukar hidupku untuknya Tuhan. Segala hal terindah tidak bisa kita lihat dan kita sentuh,
semua itu hanya bisa di rasakan dengan hati yang tulus dan suci. Kau berikan aku kesadaran. Begitu
indah cerita hidupku oleh senyummu.Kiranya Tuhan menjaga setiap hati dan
pikiran orang yang kucintai dan mencintaiku. Terimakasih Tuhan. Amin.
Ku tenggelamkan surat itu. Berharap Tuhan
akan menjawab setiap doa yang kuhaturkan.
***
Hari ini kembali ke rutinitas bisaa,
hari ini mulai sekolah lagi. Berharap tahun ini bisa menjadi tahun
keberuntungan untukku dan semua orang. Sepulang sekolah aku pergi ke rumah
Janet untuk berdiskusi lagi dalam rangka pemantapan kami untuk IChO tahun ini di Busan , Korea
Selatan. Sebelum tiba di rumahnya aku membelikan sekuntum bunga Edelweis
untuknya. Bunga ini disimbolkan sebagai cinta abadi oleh banyak orang.
Setibanya di rumah Jane, kuketuk
pintu rumahnya. Janet membuka pintunya dan segera mengajakku ke kamarnya.
Sembari berjalan menuju kamarnya aku melihat foto-foto keluarga mereka. Janet
kelihatan sangat cantik dalam foto itu. Harus kuakui memang setiap hari dia
kelihatan cantik. Semakin cantik kalo ada aku disampingnya. Hahaha. Dipersilakannya
aku masuk ke kamarnya dan dia minta izin untuk ke belakang sebentar
mengambilkan makanan dan minuman untuk kami berdua.
Sama seperti hari kemarin, aku masih
melihat banyak obat-obatan di samping tempat tidurnya. Di meja belajarnya aku melihat
sebuah sapu tangan. Sapu tangan itu terasa tidak asing lagi bagiku. Oh iya aku
ingat. Itu sapu tangan yang kugunakan untuk membersihkan darah dari hidung
Janet ketika sedang pelatnas. Aku sangat merasa senang. Ternyata dia menjaga
sapu tangan yang kuberikan itu. Setelah itu aku melihat sebuah cermin antik di
kamarnya. Aku sangat tertarik melihat cermin itu. Kelihatan kuno tapi sangat
indah di pandang mata. Kudekati lagi cermin itu. Aku agak terkejut ketika
kulihat sebuah sisir di dekat cermin itu dengan banyaknya helaian rambut
rontok. Lalu aku melihat-lihat kamarnya lagi dengan penuh seksama dan aku
menemukan sebuah diary di atas tempat tidurnya. Kuambil dengan segera diary itu
tanpa sepengetahuan Janet dan kumasukkan ke dalam tasku. Aku sempat ragu untuk
mengambilnya atau tidak.
Beberapa menit kemudian Janet datang
dengan nampan berisi penuh makanan dan minuman untuk kami. Lalu kuberikan bunga
yang kubelikan tadi dalam perjalanan menuju rumah Janet. “ Terimakasih. “
jawabnya sambil tersipu malu. “ Maaf agak lama. “ katanya. “ Gak apa-apa kok. “
jawabku singkat. Kami pun memulai diskusi kami sore itu.
Sepulang berdiskusi dari rumah
Janet, aku langsung bergegas ke kamarku. Aku ingin tahu isi diary Janet. Aku sudah penasaran dibuatnya. Kumulai membaca dari halaman
pertama.
Senin, 5 Nopember 2012
Hari ini
hidungku berdarah lagi. Rambutku semakin menipis. Tolong Tuhan kuatkan aku
untuk melewati ini Tuhan. Terimakasih Tuhan telah menormalkan hubunganku dengan
Filbert. Aku sangat tersentuh ketika dia membersihkan darah di hidungku dengan
sapu tangannya. Aku akan menjaga sapu tangan itu sampai akhir hidupku.
Sepertinya aku mulai menyukai dia Tuhan. Kuharap Tuhan bisa mendekatkan kami
lagi. Terimakasih Tuhan. I love You.
Kulanjut lagi membaca diarynya
Kamis,
15 Nopember 2012
Jika esok
pagi menjelang, akan kutantang matahari yang terbangun dari tidur lelapnya.
Karena hanya sinarku lah yang kelak akan mampu menghangatkan
dinginnya hatimu.
Aku gak tahu sampai kapan usiaku, tapi aku yakin cintaku
selamanya untukmu.
Kulanjut lagi membacanya dengan perasaan pilu. Tak kusangka
air mata mulai membasahi pipiku. Aku tidak pernah secengeng ini. Aku anak yang
tegar. Kubalik lagi lembar diary itu.
Sabtu, 1 Desember 2012
Bertemu
denganmu adalah takdir, menjadi sahabatmu adalah pilihan.
Tapi jatuh cinta kepadamu itu di luar kemampuanku. Aku akan
berjuang untuk sembuh hanya
untukmu. Aku akan terus memakan obat ini. Sampai obat ini
menyerah dan membiarkanku hidup lebih lama lagi.
Jumat,
14 Desember 2012
Andai aku
bisa memilih, aku ingin lepas dari segala penyakit ini.
Ingin rasanya mataku merekam lebih banyak hal indah lagi
untuk disimpan dalam memoriku.
Andai aku bisa memilih, aku ingin hidup seratus tahun lagi.
Aku tidak ingin mengubur cita dan asa yang telah kuperjuangkan selama ini.
Tolong Tuhan panjangkan umurku.
Semakin deras tetesan air mata yang membasahi pipiku.
Kubalik lagi diary itu.
Rabu,
2 Januari 2013
Aku tak pernah menyesal mencintai mu, yang aku sesali
mengapa tidak sejak dulu mencintaimu.
Aku tak pernah menysal bertemu denganmu, walaupun kita harus
dipisahkan oleh kematian yang kita gak tahu kapan kita akan menutup mata untuk
selamanya.
Bagiku kematian hanyalah ilusi semata, tidak menakutkan.
Kematian hanyalah suatu media agar aku bisa lebih dekat dengan
Tuhan. Kalau cinta tidak bisa menyatukan kita saat ini, pastilah cinta akan
menyatukan kita di waktuyang akan datang.
Kuhentikan
membaca diary itu. Aku sudah tak sanggup lagi membacanya. Sangat menyayat hati.
Ingin rasanya aku menukarkan hidupku untuknya. Kiranya Tuhan tetap memberkati
dia sampai akhir. Kiranya Tuhan mengizinkan dia untuk hidup lebih lama lagi.
Tuhan tolong bombing dia.
Kuatkan
aku juga Tuhan bila aku harus kehilangan dirinya, walaupun aku tahu aku tak
akanpernah siap kehilangan dirinya. Izinkan aku membahagiakan dia di waktu
terakhirnya Tuhan.
***
Januari telah berlalu. Kini aku siap
menyambut Pebruari yang penuh harapan. Aku ingin mewujudkan sesuatu cita yang
telah kutekadkan untuk meraihnya. Minggu depan aku dan temanku Janet akan
berangkat ke Busan , Korea Selatan. Semoga aku dan dia bisa
meraih hasil yang terbaik. Hari ini aku akan pergi lagi ke rumah Janet untuk
melakukan diskusi yang terakhir. Setibanya aku di depan rumahnya, kuketuk pintu
rumahnya. Ternyata yang membukanya adalah pembantu keluarga mereka. Lalu aku
bertanya kepada bibi itu, “ Bi, Janetnya ada? “ Lalu bibi itu menjawab, “ Non
Janet lagi gak di rumah den. Kemarin malam non Janet mengeluarkan banyak darah
dari hidungnya hingga tak sadarkan diri. Sekarang non Janet sedang dirawat di
rumah sakit den. “ beritahu si bibi. Segera aku berlari menuju rumah sakit
tempat Janet di rawat. Perasaanku campur aduk. Aku berharap gak terjadi apa-apa
dengan Jane.
Setibanya aku di rumah sakit aku
langsung bertanya kepada seorang perawat, “ Sus, Janet pasien pengidap kanker
darah dirawat di kamar nomor berapa ya? “ Lalu suster itu menjawab, “ di kamar
nomor 99. “ Segera aku berlari menuju ruangan itu. Aku melihat kedua orang tua
Janet sedang menunggu di ruangan itu. Aku melihat wajah orang tua Janet
terlihat sangat sedih dan sedikit pucat. Kuberanikan diriku untuk bertanya
kepada Ibu Janet, “ Tante, kondisi Janet sudah gimana? “ Dengan berurai air mata
Ibu Janet menjawab, “ Dia sedang koma nak. Ibu takut sekali kehilangan dia.
Hanya dia yang kami punya. Ibu hanya berharap Tuhan member dia kesempatan untuk
hidup lebih lama lagi. Dia punya cita-cita besar untuk menjadi seorang
Scientist. Cita-cita yang diinginkannya sejak dia TK. “ Aku gak bisa
berkata-kata lagi. Sesuatu terasa seperti membasahi pipiku. Aku gak sadar kalau
aku telah menitikan air mata ketika mendengar cerita dari Ibu Janet. Sesekali
kuintip Janet dari kaca bening yang terdapat dari pintu. Dia kelihatan sangat
menderita. Sudah tidak tahan aku melihat kondisi Janet. Segera aku pulang dan
pamitan kepada orang tua Janet.
***
Seminggu telah berlalu, Janet masih
saja koma. Sedangkan aku sudah tiba di bandara untuk berangkat ke Busan , Korea
Selatan. Hanya aku sendiri yang jadi berangkat ke sana . Serasa tidak lengkap. Ada sesuatu yang menggangu pikiranku. Aku
sangat mencemaskan keadaan Janet.
Aku
didampingi oleh keluargaku dan pihak sekolah yang akan memberangkatkanku. Aku
pamitan kepada mereka dan meminta doa dari mereka agar aku bisa memperoleh
hasil terbaik.
Aku segera
memasuki pesawat, karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas. Di dalam
pesawat aku hanya terdiam. Berusaha untuk tidur tapi tetap saja tak bisa.
***
Aku dan rombongan peserta IChO telah
mendarat di bandara internasional Korea . Kami disambut hangat oleh
warga dan pemerintah Korea .
Aku melihat di kiri dan kananku orang-orang jenius yang akan menjadi lawan
tandingku. Semuanya terasa asing. Keesokan harinya kompetisi pun dimulai. Aku
berusaha untuk menjawab soal yang diberikan secermat dan seteliti mungkin. Aku
tidak ingin melakukan kesalahan sedikit pun. Kupusatkan konsentrasiku dan
mencoba melupakan hal-hal yang selama ini sering mengganggu pikiranku.
Tes tertulis pun telah selesai kami
kerjakan. Sekarang kami akan mengadakan tes eksperimen yang juga menentukan
kami apakah kami layak menang atau tidak. Tes itupun berhasil kulalui dengan
baik. Aku optimis untuk memenangkan kompetisi ini. Keesokan harinya para
pemenang pun diumumkan. Aku sangat bangga dan senang luar bisaa ketika namaku
disebutkan sebagai pemenang kedua sekaligus meraih medali emas. Aku berhasil
membuat bangga Negara Indonesia ,
khususnya sekolah dan orang tuaku. Dalam hati aku berkata, “ Kemenangan ini
untukmu Janet. Aku mencintaimu. “ Tapi entah kenapa tiba-tiba medali emas yang
kupegang jatuh. Perasaanku tidak enak. Aku berharap tidak terjadi hal-hal yang
buruk dengan orang-orang yang kucinta dan mencintai aku.
***
Keesokan harinya kami berangkat
pulang menuju Indonesia .
Aku membelikan buah tangan untuk keluarga dan teman-temanku. Setelah beberapa
jam berlalu aku dan rombongan tim IChO tiba di Indonesia . Kami disambut hangat
oleh Menteri Pendidikan Nasional Indonesia, Bapak Muhammad Nuh. Beliau bangga
dengan hasil yang kami peroleh. Segera kupeluk Ayah dan Ibuku. Mereka sangat
bangga terhadapku. Aku pun bersyukur bisa menyenngkan orang tua dan
mengharumkan nama sekolah serta Negara ini. Kemenangan ini serasa tidak lengkap
karena tak ada Janet di sisiku.
Setibanya aku di rumah aku langsung
segera pergi menuju rumah Janet. Aku melihat suatu bendera kuning dikibarkan di
depan rumah Janet. Perasaanku mendadak tidak enak. Dengan berat hati
kulangkahkan kakiku. Aku terkejut luar bisaa ketika aku memasuki rumah Janet.
Ternyata yang meninggal adalah Janet. Tubuh Janet sudah terbujur kaku. Mendadak
air mataku mengucur deras membasahi pipiku. Akhirnya hal yang paling kutakutkan
selama ini terjadi juga. “ Tuhan kenapa harus secepat ini. Aku belum siap untuk
kehilangan dia. “ kataku dalam hati. Siang itu juga Janet akan dikebumikan.
Isak tangis mengiringi kepergian Janet.
***
Hari ini adalah hari pertama di
bulan April. Aku sudah berusaha untuk melupakan hal buruk yang terjadi bulan
Pebruari kemarin. Aku telah mencoba berusaha keras untuk melupakan Janet, tapi
tetap saja tidak bisa. Aku berusaha menjalani hari-hariku dengan senyuman.
Walaupun senyuman itu tampak seperti dipaksakan. Aku menjadi pribadi yang
murung. Aku sudah bertekad untuk menjalani hari baru dengan penuh senyuman dan
harapan. Andai aku bisa memilih aku ingin menukarkan hidupku untuknya. Aku
berharap suatu saat nanti aku bisa dipertemukan lagi dengan Janet. Karena aku
percaya jika cinta tidak bisa menyatukan kami saat ini, pastilah cinta akan
menyatukan kami di waktu yang akan datang.