CERPEN: IF

by Iman Tumorang , at 4:34 PM , have 0 comments
 If



Wussh..
Semilir angin menggelitik telingaku pagi itu. Aku berjalan menyusuri trotoar pinggiran sekolah. Ku daratkan langkah pertamaku di gerbang yang anggun menanti kedatanganku. Sesekali ku lihat sekitarku yang penuh kericuhan dalam rangka kebersihan lingkungan. Aku mempercepat derap langkah kakiku dengan maksud ikut berpartisipasi dalam kegiatan itu. Kerikil kecil pun ikut menari mengiringi perjalananku kala itu.
“Kak..” panggil Devi dari kelasnya, tepatnya di sebelah kananku.
“Iya, Dev?”
“Sammy kecelakaan kak.”
Bel berbunyi pertanda kelas akan masuk. Devi bergegas pergi meninggalkanku terpaku disana. Aku belum percaya akan hal yang baru saja ku dengar. Ku tahan semua pertanyaan di dalam benakku. Yang tadinya aku bersemangat menjalani pagi di kala itu, kini semua semangat itu hilang sekejap. Aku melanjutkan langkahku perlahan ke kelasku, RETWEET.
“Something wrong, dear?” tanya Lala sahabatku.
“Iya, La.”
“Kenapa? Cerita dong.”
“Sammy kecelakaan, La.”
“Serius? Keadaannya gimana sekarang?”
“Aku masih belum tau, La. Kabar yang ku dapat pun baru itu aja. Aku khawatir, La.”
“Tenang, Nel. Everything is gonna be ok.”
“Aku takut dia kenapa-napa, La.”
“Serahin sama yang diatas ya, sayang.” Lala memelukku erat.
Aku hanya bisa menguntai permohonan kepada-Nya. Berharap dia baik-baik saja dimanapun dia dan hatinya berada.

***
Ku dapat kabar bahwa dia dirawat di rumah sakit di luar kota. Aku cemas, sangat cemas. Bahkan kecemasanku melebihi apapun. Sesampainya di rumah, aku masih memikirkan hal itu. Dan akan terus memikirkannya. Entah apa yang merasuki aku kala itu. Setanpun tak mampu mengusik aku dan hatiku untuk memikirkannya.

Ya, namanya Sammy. Lelaki paruh baya dengan potongan rambut yang oke, cool, dan punya kharisma yang luar biasa mempesona. Dia lebih muda dibandingkan denganku, tepatnya juniorku. Aku mulai tertarik dengannya sekitar empat bulan yang lalu. Dan ku pikir aku bukan sekedar tertarik dengannya, tetapi perasaan itu mulai tumbuh perlahan dilahap waktu.

Hujan sore itupun mewakili perasaan yang tak mampu ku ungkapkan dengan kata-kata. Hatiku pilu. Pilu mengkhawatirkan keadaannya yang entah bagaimana sekarang dan pilu akan hatiku yang tak bertuan ini. Harapan demi harapan ku untai indah di awan penuh kesedihan itu.

***
“Dengar-dengar, dia koma ya, Nel?” tanya Lala di sekolah yang menghentikan pekerjaanku sejenak.
“Iya, La. Bantu doa ya, La.”
“Iya, sayang. Ngga usah terlalu dipikirin, lagian dia juga bukan siapa-siapamu kan?”
“Iya, La. Aku tau. Tapi hatiku ngga pernah berhenti mencemaskan hal ini.”
“Aku ngerti. Aku hanya takut nantinya kau akan sakit mendapati kenyataan yang pahit itu, Nel.”
Aku terdiam mendengar omongan Lala saat itu ketika kami berada di toilet. Yap, aku memang terlalu bodoh untuk melakukan semua ini. Mengkhawatirkan seseorang yang bahkan tak mengetahui keberadaanku. Memikirkan yang harusnya tak penting untuk dipikirkan. Aku hanya bisa bershower kala itu, menenangkan pikiranku yang kacau semuanya.Setiap aku melihatnya di sekolah, aku selalu melihat hal-hal yang ku impikan ada di dalam dirinya. Cinta yang hadir ini telah menyisihkan hatiku. Seolah-olah aku hanya hidup untuknya.
***
Ternyata setelah seminggu dia dirawat di rumah sakit itu, sekarang dia udah kembali ke rumahnya. Aku senang sekali mendengar kabar bahagia itu. Tak lupa aku mengucap syukur pada Tuhan. Akhirnya doaku terkabul. Harapan yang ku untai di langit mendung itu menghasilkan pelangi yang luar biasa indah. Senyumku kembali hadir mengisi hari-hariku.

Aku menepati janjiku. Ku besuk dia keesokan harinya bersama sahabatku, Lala. Tak ada sedikitpun terbersit di pikiran akan rasa malu yang akan ku tanggung. Dalam hatiku hanya satu, aku ingin melihat keadaannya.
“Bagaimana keadaanmu, Sam?” tanyaku lirih.
“Sudah mulai membaik dari kemarin,” jawabnya pelan.
“Syukurlah, akupun berharap kau lekas sembuh dan kembali berkumpul di sekolah.”
Dia membalas perkataanku dengan senyuman. Aku menangkap itu sebagai persetujuan bahwa dia akan lekas sembuh. Aku dan sahabatku, Lala, berusaha menghibur dia. Aku melihat sakit yang di deritanya dari raut wajah yang dia tebarkan. Aku bahakan tak mampu menatap matanya yang tajam. Sesekali mata kami berduapun bertemu pandang, dan ya, aku tak mampu menahannya, ku palingkan mataku segera ke arah lain.

Tiba saatnya kami pulang. Sebelum itu, aku membawakan doa di tengah-tengah kesenduan itu. Lagi, ku ku untai harapan indahku. Kali ini dengan awan biru yang cerah. Dan ku harap, aku mendapatinya secerah awan itu.
“Kami pamit ya, Sam,” ucap Lala.
Lagi, dia hanya membalas dengan senyuman. Benar-benar lelaki yang dingin.
“Lekas sembuh ya. Biar Nelsa ngga khawatir mulu sama kamu.”
“Iya, makasih ya.”
Kali ini giliranku. Sekujur tubuhku gemetaran. Darahku mendesir mengatakan tak sanggup untuk berjabat tangan dengannya. Tapi ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Aku harus bisa! Teriakku dalam hati.
“Get well soon, Sam. Lain kali jangan ugal-ugalan ya.”
“Makasih ya,” senyumnya ke arahku.
Aku lega mendapati senyum itu diarahkan padaku. Aku berharap dia mampu melihat ketulusanku melakukan ini semua. Ketulusan yang didasari cinta.

Kamipun pamit ke orangtuanya dan bergegas pulang karna senja akan berakhir.

***
Aku berharap kunjungan kami hari itu membuahkan sesuatu yang berarti. Tapi anehnya, hujan deras mengguyur kotaku saat itu. Seakan memberi pertanda. Aku menghela nafasku perlahan, kembali ku untai harapan indahku. Kali ini bukan tentang dia. Tetapi tentang hatiku yang mengharapkan kebahagiaan. Berjuta pelangi mewarnai hatiku dan aku terdiam dalam sepi. Biarkan aku jadi kekasihmu karna aku terlanjur menginginkan semua yang ada padamu. Aku merenungkan itu semua. Kepedihanku menjadi cinta sepihak.

Ku pandangi ponselku. Ku lihat perlahan kontak disana. Ku dapati namanya dan ingin aku menyapa lewat pesan singkat. Hatiku berkata ya. Dan akupun melakukan itu. Aku tak mengapa bila harus melakukan hal senekat ini. Aku hanya ingin mendapat kepastian akan hatiku yang tak bertuan ini.
Selamat malam. Jangan lupa makan ya, cepat sembuh. God bless you.
Ku tunggu dan ku tunggu. Tak juga ku dapati balasannya. Aku mencoba berpikir positif, memaklumi keadaannya yang saat ini tak cukup memungkinkan untuk diajak ngobrol melalui pesan singkat. Setidaknya dia akan membaca pesanku, semangatku dalam hati. Mungkin aku bisa mati jika memikirkan ini sepanjang hari. Akupun memutuskan menyudahi sampai disana. Dan tidur.

***
Bahkan saat dia sudah sekolahpun, aku masih tetap mendapati dia yang dulu. Dia dengan segala sikapnya yang dingin. Aku bahkan pernah berpikir bahwa dia itu impoten. Tapi aku membuang jauh-jauh pikiran kotor itu. Aku sudah melakukan semampuku. Memberi perhatian dan memberi tahu perasaanku lewat sikapku padanya. Tapi dia tak menanggapi itu semua. Dia mengabaikan aku. Bahkan setelah apa yang ku perbuat padanya. Sakit.

Aku ngga akan pernah bisa menggapainya. Tak akan pernah bisa. Bahkan sampai aku letihpun untuk mendapatkan hatinya, itu mustahil. Dia hanya mimpi bagiku. Mimpi yang tak akan pernah terwujud. Telah berbagai cara ku ungkapkan padanya. Namun dia ngga pernah ngerti apa yang aku rasakan. Hingga ku putuskan untuk menyudahi perasaan ini. Menghapus segala nada dan lagu yang telah ku ciptakan untuknya.

Terkadang timbul rasa benci menyelinap hatiku. Kesal. Aku tak bisa mengerti dirinya yang dingin seperti itu. Memang benar yang sahabatku bilang, aku ini manusia bodoh. Bodoh karna mengharapkan mimpi semu.

***
“Sekarang aku tersadar, La.”
“Akan?”
“Penantian semuku itu.”
“Aku lega mendengarnya, Nel. Aku lega kau bisa menyadari keadaanmu sekarang.”
“Iya, La. Sebaiknya aku fokus dulu ke pelajaran.”
“Nah, itu baru Nelsa yang ku kenal. Senyum, dong.”
Aku pun tersenyum lebar. Ke mantapkan hatiku untuk menjalani semuanya dengan semangat. Akupun berpikir, bila memang kami ditakdirkan bersama, akan ada waktu untuk segalanya.

***
Ternyata cinta mampu mengubah segalanya. Yang dulunya aku bersemangat tiap kali melihat dia, kini aku harus pergi dari semangat itu. Karana semnagat itupun tak mampu memberiku kebahagiaan. Cinbta sepihak harus mampu menerima segala resiko, pikirku dalam hati.

Aku yang memilihnya. Aku yang menjkadikannya tambatan hatiku. Akupun tak bisa untuk memaksakan kehendak ku seorang. Mungkin dia punya pilihan lain. Semua argumen itu memenuhi otakku. Memaksaku untuk menyudahi hari itu. Dan tidur.

***
“La..”
“Iya, Nel? Jawabnya singkat di telpon.
“Aku baru menenangkan pikiranku, tiba aku bangun, bulir airmataku menetes, La.”
“Gapapa, sayang. Itu pertanda kau siap untuk menhapus semuanya. Be strong, dear.”
“Kau yakin aku akan lebih baik setelah pergi dari semua ini?”
“Tentu saja, Nel. Aku akan ada disana untukmu, disaat kau bersuka bahkan berduka.”
“Makasih, La. Yaudah ya, aku lanjutin program deleting ini dulu.”
Tut.. tut.
Ya, aku akan mengikuti arus. Aku tak mau terbawa arus ini terlalu dalam. Karna jika aku tenggelam, aku akan semakin menyakiti diriku sendiri.
Otakku sulit berpikir jernih sekarang. Kau begitu mudah masuk ke pikiran bahkan mimpi-mimpiku. Diam sebentar, kemudian tersenyum dan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Sulit bagiku untuk mendefenisikan arti semua ini.
Aku benci denganmu, tapi bukan berarti aku dendam. Ku pikir aku pantas membencimu, kau tak punya hati. Bagiku, melupakanmu bukanlah perkara yang mudah. Semua tentangmu seakan menjadi bagian dari hidupku yang tak dapat ku lepaskan begitu saja. Tapi sikapmu telah mengubahku. Mengubah pertahanan hatiku. Dan aku pergi.
***
Sebulan setelah aku menjalani hariku dengan semangat, aku mendapati sebuah pesan singkat. Aku sangat terkejut. Amat sangat terkejut. Aku mendapat pesan singkat itu dari Sammy. Pikiranku masih belum bisa menerima itu semua. Aku pun membaca perlahan pesan itu. Dia menyapaku.
Selamat malan, Nel.
Aku termangu. Ku balas dengan wajah penuh tanda tanya gerangan apakah pesan itu.
Iya, selamat malam juga.
Akhirnya pesan singkat itu berlanjut ke sebuah obrolan yang menarik. Sebuah kado spesial buatku mendapat pesan itu langsung dari Sammy. Ternyata dia orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Akupun terhanyut. Perasaan yang dulunya ku kubur dalam-dalam, kini muncul lagi ke permukaan.
Kau mencoba membangun sebuah komunikasi yang menarik untuk dilanjutkan. Aku mulai mengerti inginmu sekarang. Ya, aku hanya mengikuti arus. Tak ingin terbawa terlalu jauh. Kau yang dulunya dingin, kini berubah drastis. Romantis dan penuh kehangatan, itulah yang ku dapati dalam dirimu kini. Bahagiaku terpenuhi sekarang.

***
“La, menurutmu gimana kalau Sammy nyatain cinta samaku?”
“Ya aku sih oke-oke aja, Nel. Apasih yang ngga buat sahabat aku.”
“Jadi, aku terima aja kalau dia ngelakuin itu?”
“Ya itu sih terserah kamu juga, Nel. Kalau kamu ngerasa cocok dan nyaman sama dia, why not?”
“Oke, La. Aku udah mantap sekarang.”
“Gitu, dong. Jangan sedih-sedih lagi ya Mbak Galau.”
“Ih, kalau soal nyindir sih, ga pernah lupa ya, La.”
Kita berduapun tertawa akibat saling sindir-menyindir. Memang luar biasa bila dua insan memiliki perasaan yang sama.

***
Kini kau hadir di kehidupanku. Menembus sepi bersamaku di kelamnya malam. Aku tak menyangka semua yang aku impikan dulu akan menjadi kenyataan. Sebuah komitmen terucap. Sebuah hubungan terikat. Kini semuanya indah. Kau dan aku menjalani hari tanpa ada risau mengganggu. Ternyata memang benar, rasa saling menghargai dan mempercayai diberikan untuk melindungi cinta tersebut.
Tawa bahagia kita berdua bahkan mampu menghapus semua kegundahan yang menyerang. Inilah hasil dari perjuanganku.
“Kau tahu, Nel, aku sangat mencintaimu.”
“Ya, akupun begitu.” Jawabku di telepon malam itu.
“Bahkan jika mautpun datang, aku akan tetap mencintaimu.”
“Terimakasih. Makasih telah hadir dan membangun hal indah bersamaku.”
“Jika waktuku untuk bisa bersamamu tinggal menghitung hari, apakah kau akan meninggalakanku?”
“Tentu saja tidak. Kau ini ngomong apa sih?”
“Aku hanya bergurau. Istirahatlah. I love you.”
Tut..tut..








***
Ya, semuanya berjalan seperti apa yang aku harapkan. Semua berjalan baik-baik saja. Aku ngga sedih lagi. Ngga galau lagi.
Kali ini ku temukan arti hadirmu di hidupku. Dan kau mampu menyejukkan hatiku. Semua kata teruntai sempurna untukmu. Aku takkan bisa berdiri setegar ini tanpamu disini. Kau mengubah segalanya.

***
“Nel, aku punya sebuah permintaan.” Pintanya di sebuah kencan buta kami.
“Apapun itu, aku akan lakukan.”
“Aku ingin supaya kita besok ngga komunikasian dulu. Aku mau lihat seberapa kuat kau bertahan tanpaku.”
“Maksudmu apa, Sam?”
“Kau mau kan melakukannya untukku, Nel?”
“Baiklah, aku turuti. Tapi, janji ya hanya sehari.”
“Ya, aku janji.”
Sammy memelukku erat malam itu. Seakan dia ingin pergi jauh. Dia terus memelukku. Dan tak mau melepasnya. Aku merasakan sweater yang ku pakai kala itu basah di bagian belakang. Sammy menangis. Dia mencucurkan airmata. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Ku coba untuk bertanya. Tapi dia semakin mempererat pelukannya. Membuat aku sulit bernafas.

Ku urungkan niatku untuk bertanya padanya malam itu. Aku hanya mencoba berpikir positif. Akupun menikmati dingin yang mencekam itu bersama kehangatan pelukannya. Aku menikmati tiap desahan nafas yang membuat aku sedikit geli. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, kami memutuskan untuk pulang.

Dia masih dengan wajah yang seperti itu. Wajah yang menggambarkan kesedihan yang mendalam. Tapi dia berusaha tak memperlihatkannya padaku. Dia tetap menampilkan senyumnya yang menawan.

***
Ya, seharian itu aku dan dia tak ada komunikasi sedikitpun. Walaupun begitu, aku masih bisa melihat dia di sekolah walaupun dari kejauhan.
“La, aku merasa aneh dengan Sammy akhir-akhir ini.”
“Kenapa, Nel? Dia selingkuh? Atau dia pura-pura sayang sama kamu?”
“Ih, kok jahat banget sih. Ya ngga lah, wajahnya itu memancarkan aura sedih gitu deh.”
“Lagi ada maslah kalai, Nel.”
“Tapi dia ngga mau cerita, La. Aku kan jadi khawatir juga.”
“Berpikir positif. Ingat ngga, waktu dia kecelakaan?”
“Iya, ingat. Kenapa emang?”
“Kuncinya kan cuma satu, sayang. Berpikir positif. Dan semua akan baik-baik aja.”
“Oke. Makasi ya, La.”
“Kaya baru kenal aja deh, gapapa, sayang. No problem.”
“You’re the best deh.”
Seperti saran Lala, akupun mencoba berpikir positif. Mungkin dia punya masalah besar yang tak bisa diceritakan saat ini.
Hari itu berlalu dengan sangat garing. Terlebih lagi karna hari ini tak ada Sammy yang mewarnai hariku. Tapi aku tetap semangat, menuruti permintaan Sammy yang menurutku teramat aneh.
Seperti makan nasi tanpa lauk, hambar tapi harus dilakukan untuk hidup.
Tapi apapun itu, semua akan ku lakukan dengan ketulusan dari hati. Karna dia begitu indah.




***
Duaaaaarrr...
Aku tak mampu menahan gejolak hatiku. Aku ingin menutup telingaku jika aku harus mendengar itu. Belum lengkap kebahagiaan yang aku rasakan. Tetapi kini semuanya harus berakhir sampai disini. Semua. Takkan ada lagi.

Dia telah pergi. Dan takkan kembali. Bahkan jika aku memutar waktupun, dia takkan kembali. Sakit yang ku rasa kini meluap ke samudera luas. Aku tak sanggup bila harus sendiri.

Ya, dia telah pergi meninggalkanku. Untuk selamanya. Dan dia hanya akan kekal di hatiku.

Ternyata, kencan buta kami untuk terakhir kalinya, kini bisa aku mengerti. Aku tahu sekarang alasan dia menangis kala itu. Aku mengerti alasan dia memelukku seerat mungkin.
Yang dulunya aku hidup dengan semua semangat yang mampu mematahkan kerisauan, kini aku tak yakin bisa menjalaninya lagi sebaik itu.

Kecelakaannya beberapa saat lalu menyebabkan pendarahan di otaknya. Dia menitipkan sebuah bingkisan untukku. Disana aku mendapati sebuah tulisan.
Aku telah meyukaimu dari dulu, Nel. Bahkan ketika aku tahu bahwa kau menyukaiku juga, ada perasaan luar biasa yang tak mampu ku lukiskan dengan kata-kata. Tapi aku sudah menegetahui tentang penyakit yang ku derita ini sejak kau membesukku di rumahku kala itu.
Awalnya aku ingin membiarkan seperti itu. Diam tanpa kata. Tapi aku juga sadar, aku memiliki perasaan yang sama denganmu. Itu sebabnya aku datang dan membuat sebuah komitmen denganmu, Nel. Aku ingin meninggalkan kenangan manis diantara kita. Aku tak ingin melihatmu bersdeih. Aku tak sanggup.
Tersenyumlah, Nel. Ketahuilah, bahkan jika aku sudah mati, perasaan ini akan kekal untukmu. Tak peduli berapa kali aku harus menangis dan menahan rasa sakit ini, aku tetap mencintaimu, Nel. Semua ku lakukan demi cintaku padamu, Nel.
Jangan nangis lagi ya. Aku bakalan sedih disini melihat cucuran airmatamu terjatuh.
Makasih udah Menuhin permintaan terkhirku. Kini aku yakin, kau akan kuat tanpaku selamanya. Karna aku telah melihat di sehari aku memintamu tanpaku, kau kuat dan tegar. Ingatlah sayang, bahwa kau telah membuat hariku lebih lebh dan bermakna.
I love you so much, dear.

Aku memeluk erat tulisan indah itu. Tulisan pertama dan terakhir Sammy buatku. Aku tak pernah menyesal mencintainya. Semua kekuranganku telah ku berikan padanya. Aku telah berbagi tawa dengannya. Setidaknya aku dan dia pernah bersama. Akhirnya, aku harus merelakan kehilangan cinta sejatiku.
Aku menangis. Tak sanggup ku relakan kepergiannya begitu saja. Dan rasa inipun akan kekal padanya. Pada seseorang yang punya senyum menawan dan mampu mengubah hidupku.
I love you so much, dear.
CERPEN: IF
CERPEN: IF - written by Iman Tumorang , published at 4:34 PM, categorized as Education , Story (Cerpen) . And have 0 comments
No comment Add a comment
Cancel Reply
GetID
Theme designed by Damzaky - Published by Proyek-Template
Powered by Blogger