HUJAN DI AKHIR SENJA
OLEH: YUDISYAHPUTRA
Hari sudah sore, namun
aku masih berdiam diri di kamar tidurku. Aku hanya menatap ke arah luar rumahku melalui jendela
kamar. Ku lihat hujan masih sangat deras. Di luar sana ada beberapa anak kecil yang sedang bergembira
menikmati hujan. Dengan bertelanjang dada, mereka saling memercikkan air yang
tergenang dari sebuah kubangan di tengah lapangan besar itu. Terlihat mereka
saling tertawa pertanda bahwa mereka sangat menikmatinya. Aku sebenarnya ingin
sekali merasakan hujan. Hujanyang sudah sejak lama aku inginkan untuk membasahi
tubuhku. Namun, asma yang ku derita membuatku hanya dapat memendam hasrat itu
dalam-dalam. Ya, mungkin ini memang sudah takdirku. Hanya dapat menikmati hujan
melalui jendela kamar tanpa harus merasakannya. Hujan semakin deras dan aku pun
semakin diam. Terdengar alunan melodi tetes-tetes hujan begitu nyaring
didengar. Tiba-tiba pikiranku mengingat seseorang yang kemarin aku temui di sekolah. Gadis unik
dengan segala keanggunan yang dimiliki. Gadis yang dengan kharismanya membuat
hatiku tertarik kepadanya dan memkasaku untuk merefleksikan bayangan wajahnya
di setiap tidurku. Gadis yang telah membutakan ku akan
perbedaan yang kami miliki. Gadis yang sudah membuatku
tidak dapat melupakan senyumnya dalam pikiranku. Gadis yang membuatku selalu tersenyum
bodoh dalam setiap lamunanku. Gadis yang aku impikan dapat menemaniku merasakan
hujan suatu saat nanti. Gadis itu adalah Lala. Oh Tuhan, seandainya
dia tahu apa yang aku rasakan saat ini. Ah, sudahlah. Mungkin dia tak akan
pernah tau perasaan ini karena aku tak
akan pernah mengatakannya..
Sebelum aku semakin larut
dalam lamunanku. Tiba-tiba….
“ Woy ” terdengar suara
teriakan dari belakang tubuhku yang spontan mengagetkan ku. Ternyata dia adalah
Abdul, teman sekelas sekaligus teman dekat Lala.
“ Kenapa kau, yud ? ”
tambahnya sebelum aku membalas teriakannya.
“ Oh, kau ternyata,dul.
Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit merasa bahagia dengan teriakanmu tadi “.
jawabku menyindir.
“ Hehehe, maaf. Habisnya
kau terlihat seperti orang gila yang semakin gila. Senyum-senyum gak jelas
entah karena apa. Oh, aku tau. Pasti karena si Lala, kan ? ”. Tanya abdul penasaran.
Aku tak menjawab. Aku
hanya terdiam sembari bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Abdul bisa tahu ? .
kenapa dia tahu bahwa memang Lala lah yang telah mengobrak-abrik pikiranku.
Apakah sosoknya begitu jelas terlihat di kepalaku ?.
“ Hey, diam saja.
Jawablah ! ”. Tegas Abdul.
“ Oh.. bukan, bukan
karena dia. Aku hanya sedang memikirkan bagaimana jika aku sudah berada di Paris nanti. Aku pasti
sangat merindukan kalian semua, terlebih semua hal-hal yang terjadi di sekolah
terutama di kelas.” Jawabku berbohong.
“ Sudahlah, kau tidak
usah bohong. Aku tahu, kok.” Kata Abdul.
“ Aku tidak bohong ! aku
memang sedang memikirkan hal itu. Bayangkan saja, kita sekolah hanya tinggal
seminggu lagi, dul. Dan setelah itu, kita semua akan berpisah. Aku akan pergi
kuliah ke Paris.
Meninggalkan semua hal-hal indah di sini.” Jawabku.
“ Kalau memang seperti
itu, lalu hal apa yang membuatmu berat untuk meninggalkan kota
ini ?, pasti Lala, kan
?”. tanya Abdul.
“ Entahlah” jawabku.
“ Ya sudah, daripada
berdiam diri seperti ini, mending kita ke rumahku. Ada lagu dangdut terbaru yang harus kita
dengarkan” ajak Adul.
“ Dasar manusia ontel.
Ini era milinium, gak zaman dangdut.” Jawabku.
“ Nah, ini nih. Manusia
yang tidak tahu asal-usul nenek moyangnya. Kita orang Indonesia, jadi cintailah produk-produk Indonesia.”
Kata Abdul.
“ Ah, sudahlah. Aku
sedang tidak ingin melakukan aktivitas. Kau pergi saja sendiri.” Jawabku
menolak ajakan Abdul.
“ Baiklah jika itu maumu.
Semoga kau cepat sembuh dari penyakit yang disebabkan si Lala itu.” Kata Abdul
menyindir.
Abdul keluar dari kamarku
dengan raut wajah suram. Sepertinya dia kecewa karena gagal membujukku untuk
menemaninya berjoget ria dengan lagu dangdut terbaru kesukaannya. Aku hanya
dapat menahan nafas. Ini masa-masa sulit bagiku. Aku tidak tahu harus
bagaimana. Pikiran ini didominasi oleh bayangan-bayangan yang merefleksikan
semua hal tentang Lala. Pikiran yang sebenarnya mencoba memaksa hati ini untuk
berterus terang kepadanya tentang perasaan ini. Entahlah, aku bingung. Aku
lelah, aku ingin tidur saja. Petualangan hari ini pun aku tutup dengan
melanjutkannya ke alam mimpi.
***
Pagi
harinya, aku bangun cepat. Ya, ini adalah hari senin. Hari dimana kami akan
dibariskan di tengah lapangan sekolah untuk mengikuti upacara bendera. Aku
tidak ingin terlambat. Aku tidak ingin nanti sewaktu upacara bendera, aku
membentuk barisan tersendiri di luar barisan kelas ku dan itu artinya aku tidak
dapat mencuri-curi pandang untuk melihat Lala.
Akhirnya,
aku tiba di sekolah tepat waktu. Begitu bel berbunyi, semua siswa berhamburan
membentuk barisan sesuai dengan koloninya masing-masing. Aku pun berbaris
sesuai dengan kelasku. Namun, aku belum melihat Lala didalam barisan. Hingga
tiba-tiba dia muncul tepat di sampingku. Aku terkejut. Aku merasa senang
sekaligus gugup. Bagaimana mungkin kami bisa sedekat ini. oh, aku benar-benar
terdiam menahan nafas berada di sampingnya. Sesekali dia melihat ke arahku.
Mungkin dia merasa ada yang berbeda dengan sikap ku.
“
Hey, kau kenapa ? kau sakit ? kenapa wajahmu pucat dan tubuhmu gemetaran ?”
bisik Lala kepadaku.
“
Oh... emmm.. apa...emmm tidak..ti.. aku tidak apa-apa” jawabku gugup.
“
Oh, ya sudah kalau begitu.” Kata Lala.
Aku
pun tidak dapat berkata-kata lagi. Aku hanya terdiam memperhatikan arahan
pembina upacara. Sesekali aku meliriknya dan tersenyum dalam hati. Ternyata dia
begitu perhatian terhadapku.
Upacara
bendera selesai. Kami pun dipersilahkan memasuki ruangan kelas masing-masing.
Ditengah perjalanan menuju kelas, Lala menghampiriku.
“
Yudha, kata Abdul kau mau lanjutin kuliah ke Paris, ya ? tanya Lala.
“
Oh, itu hanya sekedar rencana saja”. Jawabku singkat
“
Oh... “ balas Lala.
“
Emang kenapa. La ? tanyaku.
“
tidak apa-apa. Hanya ingin tau saja .” jawab Lala.
Lala
pun pergi menuju kelas. Sementara aku berhenti sejenak untuk menunggu Abdul
yang berjalan seperti pengantin pria.
“
Dul, kau cerita apa saja ke Lala ?” tanyaku kepada Abdul.
“
Ah, nantilah aku ceritakan padamu sehabis pulang sekolah.” Jawab Abdul
Abdul
pun melewatiku begitu saja dan langsung masuk ke kelas. Aku pun mengikuti
jejaknya untuk segera masuk ke kelas dan melakukan aktivitas belajar.
Sebenarnya, kami tidak belajar secara efektif
lagi. Itu karena beberapa hari lagi kami akan mengikuti ujian kelulusan
dan setelah itu kami akan meninggalkan sekolah untuk mengikuti beberapa
kegiatan yang berhubungan dengan perkuliahan. Mulai dari mencari perguruan
tinggi, pendaftaran, maupun seleksi-seleksi penerimaan mahasiswa baru. Itu
artinya, kesempatanku untuk memngungkapkan isi hatiku kepada Lala semakin
menipis. Aku pun kembali dilanda kebingungan yang luar biasa. Di sudut ruang
kelas itu, Ku lihat dia tertawa dengan Lusi teman sebangkunya yang sebenarnya
juga membuat senyuman di wajahku. Aku begitu menyatu dengannya, sehingga aku
merasa bahagia jika melihatnya tertawa .
***
Bel
pulang berbunyi. Kami pun bersiap menuju rumah masing-masing. sebelum pulang,
aku menagih janji kepada Abdul tentang penjelasannya terhadap pertanyaanku
kepadanya pagi tadi sewaktu upacara.
“
Dul, coba jawab pertanyaanku tadi pagi.” Pintaku pada Abdul.
“
Baiklah. Begini, aku kemarin menceritakan kepada Lala tentang rencanamu yang
ingin melanjutkan kuliah ke Paris. Dan kau tau, dia terlihat begitu sedih. Dia
hanya dapat tertunduk lesu ketika aku mengatakannya. Kau tau, sepertinya ada
perasaan yang tidak dapat dijelaskan olehnya mengenaimu.” Jelas Abdul.
“ Apa ? kau serius ? aku tidak
percaya.” Jawabku.
“
Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi seperti itulah kenyataannya.” Balas
Abdul
“
Oke..oke.. aku percaya. Lalu aku harus bagaimana ? tanyaku.
“
Bodoh ! ya kau ungkapkanlah kata hatimu.” Jawab Abdul.
“
Tidak bisa,Dul. Aku susah mengungkapkannya.” Balasku.
“ Terserah, tapi satu
yang ingin ku sampaikan padamu kawan. Kesempatan itu hanya datang sekali. Coba
bayangkan, kita di sini hanya tinggal beberapa hari lagi. Kalau tidak sekarang,
kapan lagi ? jangan sampai kau nanti menyesal,Yud. Oke, aku pulang dulu ” Kata
Abdul.
Abdul
pun pergi meninggalkan aku yang masih memikirkan semua kata-katanya. Abdul
benar, kesempatan itu tidak akan datang dua kali. Pola pikirku memunculkan dua
keputusan. Yang pertama, aku diam dan membiarkan perasaan ini terpendam
selamanya yang mengakibatkan ketidaktahuanku akan perasaannya. Kedua, aku
mengungkapkan perasaan hatiku dengan konsekuensi diterima atau sebaliknya. Aku
bingung. Aku sungguh bingung.
***
Setiap
saat, aku memikirkan hal ini. Aku mencoba menafsirkan apa sebenarnya yang harus
aku lakukan. Aku bingung, di satu sisi aku takut semuanya terlambat,di sisi
lain aku takut semua yang ku ungkapkan itu sia-sia. Akhirnya aku jadi sering
berkonsultasi dengan temanku tentang hal ini. tapi anehnya, semakin banyak
orang yang ku temui untuk membicarakan hal ini semakin bingung aku dibuatnya.
Hingga pada suatu ketika, Lala mengirimkan pesan singkat ke handphone ku yang
bertuliskan “ APAPUN MASALAHMU, IKUTILAH KATA HATIMU. JANGAN MENGIKUTI
PERKATAAN ORANG LAIN KARENA SEBENARNYA MEREKA TIDAK MENGERTI TENTANG KAU DAN MASALAHMU”.
Aku kaget melihat pesan itu. apa maksudnya ? apakah dia tahu masalahku
sebenarnya? apakah dia menyuruhku untuk mengungkapkan isi hatiku padanya ? entahlah,
tapi memang hati ini mendesakku untuk mengungkapkan semua pesan kata-kata yang
sudah tertumpuk padat dalam hati ini. mungkin hanya tinggal menunggu saat yang
tepat.
***
Hingga
pada suatu hari ketika hujan deras. kami terjebak di sekolah, padahal hari
mulai senja. Saat itu aku memberanikan diri berdiri di sampingnya yang sedang
memandang hujan penuh kecewa. Mungkin dia kesal karena hujan sudah menundanya
untuk sampai ke rumah tepat waktu.
“
Hai, La . kenapa wajahnya mengerut begitu .” tanyaku menyindir.
“ Ah, kau, yud. Ada-ada saja .” jawab Lala
“
kau suka hujan ?” tanyaku.
“
Tergantung,sih. Kalau hujannya hanya gerimis saja, aku suka. Tapi, kalau hujan
deras seperti ini aku tidak suka.” Jawab Lala.
“
Kenapa ?” tanyaku lagi.
“
Entahlah, Yud. Terkadang hujan membuat tulangku ngilu dan tidak nyaman
beraktivitas”. Jawab Lala.
Tiba-tiba
hujan mulai reda. Kini gerimislah yang berperan. Di kejauhan, terlihat sinar
jingga sebagai efek dari hadirnya senja.
“
La, kau suka gerimis,kan ? kalau begitu mari jalan pulang sambil menikmati
senja.” Pintaku pada Lala.
“
Sebenarnya aku tidak mau. Aku takut nanti badanku sakit dan orang tuaku jadi
kerepotan. tapi, baiklah. Aku juga sedang ingin jalan pulang ke rumah .” jawab
Lala.
Kami
pun bergegas pulang bersama. Aku tidak percaya ini terjadi. Sesekali ku
pukul-pukul pipiku untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi dan ternyata ini
memang bukan mimipi. Akhirnya salah satu keinginanku untuk bisa menikmati hujan
bersamanya dapat terwujud. Aku tidak lagi memikirkan efek setelah aku
hujan-hujanan seperti ini. Aku tidak memperdulikan sakit yang ku akan derita
nantinya. yang terpenting, aku memiliki kesempatan untuk bisa berdua dengannya.
Sesuatu hal yang sangat sulit terjadi. Yang lebih menakjubkan lagi, ini terjadi
di saat senja. Senja adalah salah satu lukisan alam yang sangat aku sukai. Kini
hujan dan senja yang merupakan dua hal yang sangat aku sukai, berkombinasi
seakan mendukung diriku untuk mengungkapkan perasaan ini padanya. Kami berjalan
pulang berdampingan. Sesekali ku lihat wajahnya dan terpancar senyuman itu.
Pertanda bahwa dia juga menikmati hujan dan senja ini.
“
Oh iya, Yudha. Kenapa kau menyukai hujan ? tanya Lala.
“
Menurutku hujan itu mengalirkan cerita. Ya seperti kita saat ini, hujan dan
senja adalah latarnya dan kita berdua adalah aktornya.” Jawabku.
“
Begitu ya.” Kata Lala.
Kami
pun terus berjalan, hingga akhirnya tibalah di ujung jalan dimana kami harus
berpisah. Sebelum berpisah aku pun memulai merealisasikan maksud dan tujuanku
mengajaknya berjalan menikmati hujan di senja ini.
“
La, sebenarnya ada yang mau aku katakan padamu. Ini tentang sesuatu hal yang
mungkin tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Tapi , aku ingin sekali
mengatakannya.” Kataku pada Lala.
“
Apa ?. ungkapakan saja” tanya Lala.
“
Oke. Sekarang dengar dan lihat aku. Aku tau ini pasti sedikit terlambat ku
katakan padamu. Tapi yakinlah bahwa ini memang yang sebenarnya. La, aku
menyukaimu. Aku menyukaimu sedari dulu. Aku tau ini sulit bagimu, tapi aku
berharap kau mau menemaniku.” Jawabku.
Sejenak
Lala tidak menjawab. Dia hanya terdiam sambil memandang tajam ke arahku. aku
pun demikian.
“
kenapa harus aku, Yud ? bukannya ada yang lebih baik dariku bahkan seiman
denganmu ?” kata Lala.
“
La, aku mencintaimu karena kau yang terbaik,La. Aku tidak memperdulikan apapun.
Aku sudah dibutakan,La. Dengar ! perbedaan
jadi tidak berarti, karena cinta telah memilih, dimataku kita berdua satu,
apapun yang mengganggu, cinta takkan salah, La.” Jawabku.
Lala
terlihat bingung. Begitu juga denganku.
“
Baiklah, aku tidak tahu harus bagaimana. Ada sesuatu yang harus aku pikirkan.
Aku pulang dulu.” Kata Lala.
“
silahkan, La. Tapi aku harap jangan lama-lama karena lusa aku sudah berangkat
ke Paris.” Jawabku.
Lala hanya mengangguk lalu pergi menjauhiku menuju rumahnya. Aku
tidak berhenti memandangnya hingga dia benar-benar hilang di balik tembok rumahnya.setelah
itu, aku pun pulang ke rumah dengan perasaan lega bercampur cemas. Lega karena
semua beban yang mengisi penuh di hatiku dapat terkuras semua. Cemas karena
tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya terhadap pengakuanku tadi kepadanya.
***
Sejak
hari dimana aku mengungkapkan perasaanku kepadanya, Lala banyak berubah. Dia
menjadi pendiam. Aku juga tidak berani untuk menanyakan hal itu padanya karena
takut membuatnya marah.
Sampai hari ini. hari
dimana aku akan berangkat ke Paris, Lala masih membisu. Dia tidak pernah
mengabari aku tentang apapun yang berkaitan dengan peristiwa di waktu hujan
senja itu. Sikapnya itu seakan mempertegas bahwa dia memang tidak memiliki
perasaan yang sama denganku. Aku hanya dapat pasrah menerima keadaan ini.
Akhirnya, dengan sisa-sisa semangat yang ku miliki aku pun beranjak dari tempat
tidurku untuk pergi ke Bandara. Beberapa menit lagi pesawat tumpanganku akan
lepas landas. Sejenak ku amati kamarku. Aku pasti sangat merindukan tempat ini
nantinya. Aku menghela nafas sambil memejamkan mataku. Teringat kembali semua
kenangan-kenangan yang tercipta di kotaku ini, terutama di sekolah. Aku tentu
sangat merindukan goyangan dangdut si Abdul nantinya, kegilaan-kegilaan
penghuni satu kelasku, terlebih lagi adalah Lala. Aku pasti akan sangat
merindukan senyumnya.
“ Den. Den Yudha. Mari
berangkat” ajak mang Midi yang akan mengantarkanku ke Bandara.
“ Iya, mang.” Jawabku
singkat.
Aku pun melangkahkan
kaki ku keluar rumah. Tidak lupa aku berpamitan kepada orang tua dan juga
saudara-saudaraku. Di depan rumah, Abdul berdiri memandangku sambil tersenyum.
“ Yud, kalau pulang ke
sini, aku pesan menara eiffel ya ? canda Abdul.
“ Hahahaha, dasar
manusia ontel. Ada-ada saja kau” jawabku.
“ Ini, ada CD nya bang
Rhoma Irama. Nanti tolong kau perkenalkan kepada para bule disana. Bilang saja
ini musik jazz orang Indonesia. Hahahahah .” Kata Abdul.
“ Hahahaha, Oke,Dul.
Asal lah kau senang kawan.” Jawabku bercanda.
Abdul pun menyalamku
“ Baik-baik di sana
kawan, semoga sukses. Jangan lupa sama kampung halaman ya.” Kata Abdul
“ Makasih,Dul. Tenang
saja, aku pasti akan rajin pulang,kok.” Jawabku.
Aku pun masuk kedalam
mobil meninggalkan mereka untuk pergi ke Bandara. Sepanjang perjalanan, ku
amati satu per satu bangunan dan jalanan yang pernah menjadi saksi bisu cerita
senja ku bersama Lala. Aku hanya dapat menahan sedihku.Terlalu banyak
kenanganku bersama Lala, dan terlalu manis untuk dilupakan. Teringat akan Lala.
Aku tidak tahu mengapa Lala seperti ini. mengapa dia tidak menampakkan dirinya
di saat aku ingin melihatnya sebelum aku merindukannya. Ah, aku tidak tahu.
Apakah aku salah telah mengatakan bahasa yang sebenarnya tentang hatiku kepadanya
? entahlah.
“ Hey, mau berangkat
ke Paris kok tidak bilang-bilang” kata seseorang yang berada di Akhirnya aku
sampai di Bandara. Semakin berat rasanya meninggalkan kota ini. kembali aku
hanya dapat memejamkan mata sambil menghela nafas. Namun, semua harus ku
lakukan. Ini semua demi mimpi dan cita-citaku yang ingin menjadi seorang
arsitek mumpuni. Menunggu keberangkatan,
aku pun duduk di salah satu kursi tunggu Bandara. Aku duduk sendirian. Aku
duduk seperti orang memohon doa. Membungkuk dan mengusap-usapkan kedua tanganku
ke wajah. Tiba-tiba...
sampingku.
Aku kenal suara itu.
suara anggun yang hanya dimiliki oleh seorang gadis di kelas. Ya, Lala. Pasti
itu Lala. Seketika aku menoleh ke arahnya, dan benar saja itu adalah Lala. Aku senang
luar biasa.
“ Eh, Lala. Kok ada di
sini, ada apa ?” tanyaku.
“ Yudha, aku ke sini
ya untuk menemui mu lah. Aku kan masih punya hutang padamu. Aku kan belum jawab
tentang pernyataanmu di waktu hujan senja itu.” jawab Lala.
“ Oh, iya. Jadi gimana
?” tanya ku.
“ Oke. Dengar dan
lihat aku. Pertama, aku begitu kaget mendengar pernyataanmu waktu itu karena
sebenaranya aku juga mempunyai rasa yang sama denganmu. Hanya saja aku lebih
keras kepala darimu. keras kepalaku membuatku hanya dapat memendam perasaan ini
dalam-dalam. Dan sebenarnya aku tidak tahu harus jawab apa.” Jawab Lala
“ Lala, aku tidak
memaksamu untuk menjawab pernyataanku itu. Tapi, aku ingin kau percaya. Aku
ingin kau percaya terhadap semua perasaanku terhadapmu.” Kata ku pada Lala.
“ Aku percaya. Hanya
saja , seperti yang ku katakan tadi, aku lebih keras kepala. Aku selalu
menyangkal dan menyangkal. kau tau, sebenarnya aku tak ingin kau pergi, Yud.
Aku sudah terlalu nyaman denganmu. Aku sudah mulai terbiasa mendengar suaramu.”
Jawab Lala.
“ La, bukan hanya kau
yang seperti itu. aku bahkan sudah sedari dulu merasa nyaman denganmu. Itu
sebabnya aku menyukaimu dan menantang semua rasa gugup ku saat mengungkapkan
isi hatiku ini kepadamu. Itu juga yang menyebabkan aku ingin kau mau
menemaniku. ” Kata ku pada Lala.
Lala hanya terdiam.
dia membisu seribu bahasa. Aku hanya mencoba memakluminya. Aku tau, ini sulit
baginya. Menyatukan cinta yang berbeda itu memang sulit. Tapi, aku tidak
berpandangan demikian. Bagiku cinta adalah kodrat manusia yang seharusnya
dipatuhi tanpa memandang apapun. Cinta itu seperti air. Putih, bening, dan
mengalir ke arah kemanapun dia suka serta apa adanya. Aku masih memikirkan hal
ini. hingga tiba-tiba Lala menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku tidak tahu apa
yang dia lakukan. Aku tidak berani untuk memintanya mengangkat kembali
kepalanya dari bahuku. Aku takut nanti dia akan marah. Dia begitu nyaman di
bahuku. Sesekali ku usap rambutnya dan berbisik menyanyikan lagu sendu
untuknya.
Sampai ketika pesawat
akan lepas landas. Petugas bandara meminta agar semua penumpang bersiap-siap.
Aku pun meminta Lala untuk bangun dan membiarkan aku pergi. Aku mencoba
membangunkan karena mungkin dia tertidur. Perlahan, aku menyentuh bahunya.
Namun dia tak bergeming. Aku kembali menyentuh dan menggoyang-goyangkan bahunya
semakin keras. Lagi-lagi dia tidak merespon. Aku mulai cemas.
“ La, bangun La. Aku
udah mau berangkat, nih”. Pintaku pada Lala.
Namun, dia tak
merespon sedikitpun.
“ La, kau kenapa ?
astagaaa...” aku terkejut ketika tanganku bersatu dengan tangannya.
Tangannya begitu
dingin. Seperti membeku ditimbun salju kutub utara. Aku tidak tahu apa yang
terjadi pada Lala. Dia tidak bangun-bangun walaupun aku sudah berusah
membangunkannya. Aku semakin cemas.
“ Tolong...tolong...
panggil ambulans, panggil cepat.” Pintaku pada petugas Bandara.
Aku mulai cemas. Aku
tidak bisa melihat Lala seperti ini. Aku takut, aku takut terjadi apa-apa pada
Lala. Aku takut, ini menjadi pertemuan terakhir bagi kami. Aku mulai menangis.
Aku tak dapat membendung air mataku. Aku menumpahkan air mata ini sembari
memeluknya erat-erat dan berharap ini bukan pelukan terakhirku untuknya.
Ambulans tiba. Petugas
datang menghampiri kami. Petugas menggotong badan Lala dan meletakkannya ke
dalam mobil itu. mereka membawa Lala ke Rumah Sakit Bina Harapan yang terletak
tidak terlalu jauh dari Bandara. Sementara aku tinggal sejenak di Bandara untuk
mengurus dokumen penundaan keberangkatanku ke Paris.
Selang beberapa menit,
aku menyusul Lala ke rumah sakit. Aku meneteskan air mata di sepanjang koridor
rumah sakit sembari berdoa agar tidak terjadi hal yang tidak ku inginkan
terhadap Lala. Dari jauh, ku lihat Abdul duduk di bangku rumah sakit tepat di
samping pintu dimana Lala berada. Wajahnya lesu dan matanya sembab pertanda dia
baru saja menangis. Aku mendekat.
“Dul, bagaiman kondisi
Lala ? bagaimana....bagaimana...” tanyaku cemas pada Abdul.
Abdul tidak menjawab.
Dia hanya menghela nafas. Tampak raut mukanya tak seperti biasanya.
“Dul, jawab !
jawab,Dul ! Tegas ku.
Abdul berdiri dan
menatapku tajam.
“Yud, Lala sudah
pergi. Lala sudah meninggalkan kita semua.” Jawab Abdul sambil memegang bahuku.
Aku membisu. Aku tak
tahu harus bagaimana lagi. Ini sungguh tak dapat aku terima. Tangisku akhirnya
meledak.
“ Dokter...dokter...
Buka pintunya, Dok. Izinkan aku masuk. Dokter.... dok !” pintaku sambil
menangis dan menggedor-gedor pintu ruangan dimana Lala ada Didalamnya.
Dokter tidak
menghiraukan aku. Abdul mencoba menenangkanku. Aku hanya bisa menagis tanpa
berbicaralagi. Aku sudah putus asa. Tubuhku seketika tak bertenaga. Aku lemas.
Aku pun duduk dilantai sambil menyembunyikan wajahku diantara kedua lututku
yang ku lipat. Aku tak dapat menahan kesedihanku. Mengapa ? mengapa dia yang
lebih dahulu meninggalkan dunia ini ? secepat inikah ?. aku tertunduk lesu.
“ Yud, aku ingin
mengatakan sesuatu padamu. sebenarnya Lala sudah mengidap kanker otak stadium 4
dua tahun yang lalu. Dia sengaja merahasiakan hal ini pada semua orang di
sekolah.Terutama dirimu. Dia tidak ingin kau merasa kehilangan dirinya. Itu
juga sebabnya mengapa dia tak pernah menjawab pertanyaan tentang perasaannya
kepadamu. Padahal sebenarnya dia menyukaimu. Hanya saja dia memendamnya
dalam-dalam.” Kata Abdul sambil memegang bahuku.
Aku semakin tak
percaya ini. bagaimana mungkin Lala yang terlihat kokoh ternyata mengidap
penyakit akut seperti ini. Jadi, apakah semua senyum indah itu hanyalah ilusi
semata ? apakah semua tawanya itu hanya sekedar sandiwara agar semua orang
mengira dia baik-baik saja ? Oh, Tuhan....
“ Yud, ini ada kertas
dari Lala. Ini merupakan tulisan terakhirnya. Kertas ini ditulis pagi tadi
sebelum Dia pergi menemuimu di Bandara. Dia menitipkan ini padaku untuk
memberikannya kepadamu apabila nanti dia sudah pergi” kata Abdul sambil
menjulurkan tangannya yang berisi kertas berwana hijau.
Aku menerimanya.
Sebenarnya aku tak ingin membuka lipatan kertas itu. Namun, aku harus
membacanya. Perlahan-lahan aku aku membukanya dan akhirnya aku semakin larut
dalam kesedihan ini. aku tak kuasa membaca tulisan itu. tulisan yang berbunyi “
JIKA SUATU SAAT NANTI AKU MENGHILANG, PERCAYALAH BAHWA AKU MENCINTAIMU” tulisan
sederhana dengan tinta berwarna Hitam yang di goreskan pada kertas berwarna
hijau namun penuh makna. Aku hanya dapat memeluk kertas itu. Tak kusadari,
ternyata air mataku menetes tepat di tubuh kertas hijau itu. Aku menangis
bersama hujan yang terjadi saat itu.
Sore ini, rencananya
jasad Lala akan di kebumikan. Dan hujan pun mengiringi prosesi pemakamannya.
Aku berada di barisan paling depan dari semua pelayat yang mengikuti jasad Lala
ke rumah barunya. Aku memegang fotonya. Terlihat keluarga, teman-teman, dan
tidak terkecuali aku tak mampu membendung air mata ketika dia mulai di masukkan
ke dalam kasur barunya. Kasur terempuk yang membuatnya tidur lelap dan tak akan
pernah bangun lagi selamanya.
Prosesi pemakamn pun
usai. Doa-doa telah selesai dipanjatkan ke sang Maha Pencipta. Seluruh
keluarga, teman, dan pelayat bergegas pergi dari tanah pekuburan ini
meninggalkan Lala sendirian. Tidak dengan aku, aku masih tetap bersimpuh di
hadapan makamnya. Aku masih ingin bersama Lala. Aku masih ingin memandang
senyum Lala yang terkunci kokoh dalam bingkai fotonya. Sesekali aku tersenyum
ketika aku mengingat kembali kenangan-kenangan bersamanya. Salah satunya adalah
kenangan disaat aku dan Lala saling mangacak-acak rambut masing-masing. Itu
merupakan saat-saat yang akan sangat aku rindukan.
Hujan semakin deras
namun aku masih belum beranjak dari makam Lala. mengapa ? itu karena aku ingin
menikmati hujan hingga senja tiba, bersama Lala. Aku ingin mengulang kembali
saat dimana aku mengungkapkan perasaanku pada Lala. aku ingin menikmati hujan
dan senja bersamanya untuk yang terakhir kalinya sebelum aku berangkat ke
Paris.
“ La, lihat ! begitu
indah bukan hujan di senja ini. sama seperti pertama kali aku mengungkapkan
perasaanku padamu. Dan sekarang kau malah sudah menyukai hujan lebat. Luar
biasa bukan. La, kau boleh tiada dalam dunia nyataku, tapi tidak dalam jiwa dan
hatiku. Kau itu masih hidup. Kau masih seperti yang dahulu. Karena ku yakin kau
tak akan berubah dan hati ini tau.” aku berbicara kepada makam Lala.
Setelah menikmati
hujan di senja itu. aku bergegas pulang karena malam ini juga aku harus
berangkat ke Paris. Tak lupa aku berpamitan pada Lala. Aku mencium foto dan
makamnya. lalu pergi dengan sesekali menoleh ke arah makamnya. Berat memang
rasanya meninggalkan Lala di sini. Namun, Lala pula lah yang memotivasiku untuk
meninggalkannya. Dia pernah berkata kepadaku “ Aku sangat bangga jika kau nanti
dapat menjadi seorang arsitek terkenal di dunia. Aku pasti tak akan melupakanmu
seumur hidupku”. Kata-kata itu membuatku harus meninggalkan Lala demi memegang
semua janjiku padanya.
***
Kini aku sudah
berada di Paris. Kota impianku. Tepat di bawah selangkangan menara eiffel aku
memejamkan mata untuk kembali mengingat Lala. sosok yang tidak dapat
tergantikan seumur hidupku. Tak lupa aku membawa kertas hijau dengan tinta
hitam pemberiannya bersamaku. Aku menatap ke arah puncak menara Eiffel
seakan-akan Tuhan ada disana. Dalam hati aku berkata “ Tuhan, aku yakin ini
memang jalan terbaik dari-MU. Aku menerima ini Tuhan. Jika memang kau tak
mengizinkanku bersamanya saat ini, aku mohon izinkan aku bersamanya di masa
yang akan datang. Aku mencintai dia Tuhan. Kirimkan salam rinduku padanya ya
Tuhan”. Lala, aku yakin kau melihatku dari atas sana. Aku hanya ingin kau tau
bahwa aku mencintaimu, La. Aku ingin kau percaya akan perasaan ini, dimana pun
kau berada
***