CERPEN :HUJAN DI AKHIR SENJA

by Iman Tumorang , at 6:58 PM , have 2 comments
HUJAN DI AKHIR SENJA



            Hari sudah sore, namun aku masih berdiam diri di kamar tidurku. Aku hanya  menatap ke arah luar rumahku melalui jendela kamar. Ku lihat hujan masih sangat deras. Di luar sana ada beberapa anak kecil yang sedang bergembira menikmati hujan. Dengan bertelanjang dada, mereka saling memercikkan air yang tergenang dari sebuah kubangan di tengah lapangan besar itu. Terlihat mereka saling tertawa pertanda bahwa mereka sangat menikmatinya. Aku sebenarnya ingin sekali merasakan hujan. Hujanyang sudah sejak lama aku inginkan untuk membasahi tubuhku. Namun, asma yang ku derita membuatku hanya dapat memendam hasrat itu dalam-dalam. Ya, mungkin ini memang sudah takdirku. Hanya dapat menikmati hujan melalui jendela kamar tanpa harus merasakannya. Hujan semakin deras dan aku pun semakin diam. Terdengar alunan melodi tetes-tetes hujan begitu nyaring didengar. Tiba-tiba pikiranku mengingat seseorang  yang kemarin aku temui di sekolah. Gadis unik dengan segala keanggunan yang dimiliki. Gadis yang dengan kharismanya membuat hatiku tertarik kepadanya dan memkasaku untuk merefleksikan bayangan wajahnya di setiap tidurku. Gadis yang telah membutakan ku akan perbedaan yang kami miliki. Gadis yang sudah membuatku tidak dapat melupakan senyumnya dalam pikiranku. Gadis yang membuatku selalu tersenyum bodoh dalam setiap lamunanku. Gadis yang aku impikan dapat menemaniku merasakan hujan suatu saat nanti. Gadis itu adalah Lala. Oh Tuhan, seandainya dia tahu apa yang aku rasakan saat ini. Ah, sudahlah. Mungkin dia tak akan pernah tau perasaan ini  karena aku tak akan pernah mengatakannya..
            Sebelum aku semakin larut dalam lamunanku. Tiba-tiba….
            “ Woy ” terdengar suara teriakan dari belakang tubuhku yang spontan mengagetkan ku. Ternyata dia adalah Abdul, teman sekelas sekaligus teman dekat Lala.
            “ Kenapa kau, yud ? ” tambahnya sebelum aku membalas teriakannya.
            “ Oh, kau ternyata,dul. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit merasa bahagia dengan teriakanmu tadi “. jawabku menyindir.
            “ Hehehe, maaf. Habisnya kau terlihat seperti orang gila yang semakin gila. Senyum-senyum gak jelas entah karena apa. Oh, aku tau. Pasti karena si Lala, kan ? ”. Tanya abdul penasaran.
            Aku tak menjawab. Aku hanya terdiam sembari bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Abdul bisa tahu ? . kenapa dia tahu bahwa memang Lala lah yang telah mengobrak-abrik pikiranku. Apakah sosoknya begitu jelas terlihat di kepalaku ?.
            “ Hey, diam saja. Jawablah ! ”.  Tegas Abdul.
            “ Oh.. bukan, bukan karena dia. Aku hanya sedang memikirkan bagaimana jika aku sudah berada di Paris nanti. Aku pasti sangat merindukan kalian semua, terlebih semua hal-hal yang terjadi di sekolah terutama di kelas.” Jawabku berbohong.
            “ Sudahlah, kau tidak usah bohong. Aku tahu, kok.” Kata Abdul.
            “ Aku tidak bohong ! aku memang sedang memikirkan hal itu. Bayangkan saja, kita sekolah hanya tinggal seminggu lagi, dul. Dan setelah itu, kita semua akan berpisah. Aku akan pergi kuliah ke Paris. Meninggalkan semua hal-hal indah di sini.” Jawabku.
            “ Kalau memang seperti itu, lalu hal apa yang membuatmu berat untuk meninggalkan kota ini ?, pasti Lala, kan ?”. tanya Abdul.
            “ Entahlah” jawabku.
            “ Ya sudah, daripada berdiam diri seperti ini, mending kita ke rumahku. Ada lagu dangdut terbaru yang harus kita dengarkan” ajak Adul.
            “ Dasar manusia ontel. Ini era milinium, gak zaman dangdut.” Jawabku.
            “ Nah, ini nih. Manusia yang tidak tahu asal-usul nenek moyangnya. Kita orang Indonesia, jadi cintailah produk-produk Indonesia.” Kata Abdul.
            “ Ah, sudahlah. Aku sedang tidak ingin melakukan aktivitas. Kau pergi saja sendiri.” Jawabku menolak ajakan Abdul.
            “ Baiklah jika itu maumu. Semoga kau cepat sembuh dari penyakit yang disebabkan si Lala itu.” Kata Abdul menyindir.
            Abdul keluar dari kamarku dengan raut wajah suram. Sepertinya dia kecewa karena gagal membujukku untuk menemaninya berjoget ria dengan lagu dangdut terbaru kesukaannya. Aku hanya dapat menahan nafas. Ini masa-masa sulit bagiku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Pikiran ini didominasi oleh bayangan-bayangan yang merefleksikan semua hal tentang Lala. Pikiran yang sebenarnya mencoba memaksa hati ini untuk berterus terang kepadanya tentang perasaan ini. Entahlah, aku bingung. Aku lelah, aku ingin tidur saja. Petualangan hari ini pun aku tutup dengan melanjutkannya ke alam mimpi.
***
            Pagi harinya, aku bangun cepat. Ya, ini adalah hari senin. Hari dimana kami akan dibariskan di tengah lapangan sekolah untuk mengikuti upacara bendera. Aku tidak ingin terlambat. Aku tidak ingin nanti sewaktu upacara bendera, aku membentuk barisan tersendiri di luar barisan kelas ku dan itu artinya aku tidak dapat mencuri-curi pandang untuk melihat Lala.
            Akhirnya, aku tiba di sekolah tepat waktu. Begitu bel berbunyi, semua siswa berhamburan membentuk barisan sesuai dengan koloninya masing-masing. Aku pun berbaris sesuai dengan kelasku. Namun, aku belum melihat Lala didalam barisan. Hingga tiba-tiba dia muncul tepat di sampingku. Aku terkejut. Aku merasa senang sekaligus gugup. Bagaimana mungkin kami bisa sedekat ini. oh, aku benar-benar terdiam menahan nafas berada di sampingnya. Sesekali dia melihat ke arahku. Mungkin dia merasa ada yang berbeda dengan sikap ku.
            “ Hey, kau kenapa ? kau sakit ? kenapa wajahmu pucat dan tubuhmu gemetaran ?” bisik Lala kepadaku.
            “ Oh... emmm.. apa...emmm tidak..ti.. aku tidak apa-apa” jawabku gugup.
            “ Oh, ya sudah kalau begitu.” Kata Lala.
            Aku pun tidak dapat berkata-kata lagi. Aku hanya terdiam memperhatikan arahan pembina upacara. Sesekali aku meliriknya dan tersenyum dalam hati. Ternyata dia begitu perhatian terhadapku.

            Upacara bendera selesai. Kami pun dipersilahkan memasuki ruangan kelas masing-masing. Ditengah perjalanan menuju kelas, Lala menghampiriku.
            “ Yudha, kata Abdul kau mau lanjutin kuliah ke Paris, ya ? tanya Lala.
            “ Oh, itu hanya sekedar rencana saja”. Jawabku singkat
            “ Oh... “ balas Lala.
            “ Emang kenapa. La ? tanyaku.
            “ tidak apa-apa. Hanya ingin tau saja .” jawab Lala.
            Lala pun pergi menuju kelas. Sementara aku berhenti sejenak untuk menunggu Abdul yang berjalan seperti pengantin pria.
            “ Dul, kau cerita apa saja ke Lala ?” tanyaku kepada Abdul.
            “ Ah, nantilah aku ceritakan padamu sehabis pulang sekolah.” Jawab Abdul
            Abdul pun melewatiku begitu saja dan langsung masuk ke kelas. Aku pun mengikuti jejaknya untuk segera masuk ke kelas dan melakukan aktivitas belajar. Sebenarnya, kami tidak belajar secara efektif  lagi. Itu karena beberapa hari lagi kami akan mengikuti ujian kelulusan dan setelah itu kami akan meninggalkan sekolah untuk mengikuti beberapa kegiatan yang berhubungan dengan perkuliahan. Mulai dari mencari perguruan tinggi, pendaftaran, maupun seleksi-seleksi penerimaan mahasiswa baru. Itu artinya, kesempatanku untuk memngungkapkan isi hatiku kepada Lala semakin menipis. Aku pun kembali dilanda kebingungan yang luar biasa. Di sudut ruang kelas itu, Ku lihat dia tertawa dengan Lusi teman sebangkunya yang sebenarnya juga membuat senyuman di wajahku. Aku begitu menyatu dengannya, sehingga aku merasa bahagia jika melihatnya tertawa .
***
            Bel pulang berbunyi. Kami pun bersiap menuju rumah masing-masing. sebelum pulang, aku menagih janji kepada Abdul tentang penjelasannya terhadap pertanyaanku kepadanya pagi tadi sewaktu upacara.
            “ Dul, coba jawab pertanyaanku tadi pagi.” Pintaku pada Abdul.
            “ Baiklah. Begini, aku kemarin menceritakan kepada Lala tentang rencanamu yang ingin melanjutkan kuliah ke Paris. Dan kau tau, dia terlihat begitu sedih. Dia hanya dapat tertunduk lesu ketika aku mengatakannya. Kau tau, sepertinya ada perasaan yang tidak dapat dijelaskan olehnya mengenaimu.” Jelas Abdul.
            “ Apa ? kau serius ? aku tidak percaya.” Jawabku.
            “ Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi seperti itulah kenyataannya.” Balas Abdul
            “ Oke..oke.. aku percaya. Lalu aku harus bagaimana ? tanyaku.
            “ Bodoh ! ya kau ungkapkanlah kata hatimu.” Jawab Abdul.
            “ Tidak bisa,Dul. Aku susah mengungkapkannya.” Balasku.
“ Terserah, tapi satu yang ingin ku sampaikan padamu kawan. Kesempatan itu hanya datang sekali. Coba bayangkan, kita di sini hanya tinggal beberapa hari lagi. Kalau tidak sekarang, kapan lagi ? jangan sampai kau nanti menyesal,Yud. Oke, aku pulang dulu ” Kata Abdul.
            Abdul pun pergi meninggalkan aku yang masih memikirkan semua kata-katanya. Abdul benar, kesempatan itu tidak akan datang dua kali. Pola pikirku memunculkan dua keputusan. Yang pertama, aku diam dan membiarkan perasaan ini terpendam selamanya yang mengakibatkan ketidaktahuanku akan perasaannya. Kedua, aku mengungkapkan perasaan hatiku dengan konsekuensi diterima atau sebaliknya. Aku bingung. Aku sungguh bingung.
***
            Setiap saat, aku memikirkan hal ini. Aku mencoba menafsirkan apa sebenarnya yang harus aku lakukan. Aku bingung, di satu sisi aku takut semuanya terlambat,di sisi lain aku takut semua yang ku ungkapkan itu sia-sia. Akhirnya aku jadi sering berkonsultasi dengan temanku tentang hal ini. tapi anehnya, semakin banyak orang yang ku temui untuk membicarakan hal ini semakin bingung aku dibuatnya. Hingga pada suatu ketika, Lala mengirimkan pesan singkat ke handphone ku yang bertuliskan “ APAPUN MASALAHMU, IKUTILAH KATA HATIMU. JANGAN MENGIKUTI PERKATAAN ORANG LAIN KARENA SEBENARNYA MEREKA TIDAK MENGERTI TENTANG KAU DAN MASALAHMU”. Aku kaget melihat pesan itu. apa maksudnya ? apakah dia tahu masalahku sebenarnya? apakah dia menyuruhku untuk mengungkapkan isi hatiku padanya ? entahlah, tapi memang hati ini mendesakku untuk mengungkapkan semua pesan kata-kata yang sudah tertumpuk padat dalam hati ini. mungkin hanya tinggal menunggu saat yang tepat.
***
            Hingga pada suatu hari ketika hujan deras. kami terjebak di sekolah, padahal hari mulai senja. Saat itu aku memberanikan diri berdiri di sampingnya yang sedang memandang hujan penuh kecewa. Mungkin dia kesal karena hujan sudah menundanya untuk sampai ke rumah tepat waktu.
            “ Hai, La . kenapa wajahnya mengerut begitu .” tanyaku menyindir.
              Ah, kau, yud. Ada-ada saja .” jawab Lala
            “ kau suka hujan ?” tanyaku.
            “ Tergantung,sih. Kalau hujannya hanya gerimis saja, aku suka. Tapi, kalau hujan deras seperti ini aku tidak suka.” Jawab Lala.
            “ Kenapa ?” tanyaku lagi.
            “ Entahlah, Yud. Terkadang hujan membuat tulangku ngilu dan tidak nyaman beraktivitas”. Jawab Lala.
            Tiba-tiba hujan mulai reda. Kini gerimislah yang berperan. Di kejauhan, terlihat sinar jingga sebagai efek dari hadirnya senja.
            “ La, kau suka gerimis,kan ? kalau begitu mari jalan pulang sambil menikmati senja.” Pintaku pada Lala.
            “ Sebenarnya aku tidak mau. Aku takut nanti badanku sakit dan orang tuaku jadi kerepotan. tapi, baiklah. Aku juga sedang ingin jalan pulang ke rumah .” jawab Lala.
            Kami pun bergegas pulang bersama. Aku tidak percaya ini terjadi. Sesekali ku pukul-pukul pipiku untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi dan ternyata ini memang bukan mimipi. Akhirnya salah satu keinginanku untuk bisa menikmati hujan bersamanya dapat terwujud. Aku tidak lagi memikirkan efek setelah aku hujan-hujanan seperti ini. Aku tidak memperdulikan sakit yang ku akan derita nantinya. yang terpenting, aku memiliki kesempatan untuk bisa berdua dengannya. Sesuatu hal yang sangat sulit terjadi. Yang lebih menakjubkan lagi, ini terjadi di saat senja. Senja adalah salah satu lukisan alam yang sangat aku sukai. Kini hujan dan senja yang merupakan dua hal yang sangat aku sukai, berkombinasi seakan mendukung diriku untuk mengungkapkan perasaan ini padanya. Kami berjalan pulang berdampingan. Sesekali ku lihat wajahnya dan terpancar senyuman itu. Pertanda bahwa dia juga menikmati hujan dan senja ini.
            “ Oh iya, Yudha. Kenapa kau menyukai hujan ? tanya Lala.
            “ Menurutku hujan itu mengalirkan cerita. Ya seperti kita saat ini, hujan dan senja adalah latarnya dan kita berdua adalah aktornya.” Jawabku.
            “ Begitu ya.” Kata Lala.
            Kami pun terus berjalan, hingga akhirnya tibalah di ujung jalan dimana kami harus berpisah. Sebelum berpisah aku pun memulai merealisasikan maksud dan tujuanku mengajaknya berjalan menikmati hujan di senja ini.
            “ La, sebenarnya ada yang mau aku katakan padamu. Ini tentang sesuatu hal yang mungkin tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Tapi , aku ingin sekali mengatakannya.” Kataku pada Lala.
            “ Apa ?. ungkapakan saja” tanya Lala.
            “ Oke. Sekarang dengar dan lihat aku. Aku tau ini pasti sedikit terlambat ku katakan padamu. Tapi yakinlah bahwa ini memang yang sebenarnya. La, aku menyukaimu. Aku menyukaimu sedari dulu. Aku tau ini sulit bagimu, tapi aku berharap kau mau menemaniku.” Jawabku.
            Sejenak Lala tidak menjawab. Dia hanya terdiam sambil memandang tajam ke arahku. aku pun demikian.
            “ kenapa harus aku, Yud ? bukannya ada yang lebih baik dariku bahkan seiman denganmu ?” kata Lala.
            “ La, aku mencintaimu karena kau yang terbaik,La. Aku tidak memperdulikan apapun. Aku sudah dibutakan,La. Dengar !  perbedaan jadi tidak berarti, karena cinta telah memilih, dimataku kita berdua satu, apapun yang mengganggu, cinta takkan salah, La.” Jawabku.
            Lala terlihat bingung. Begitu juga denganku.
            “ Baiklah, aku tidak tahu harus bagaimana. Ada sesuatu yang harus aku pikirkan. Aku pulang dulu.” Kata Lala.
            “ silahkan, La. Tapi aku harap jangan lama-lama karena lusa aku sudah berangkat ke Paris.” Jawabku.
Lala hanya mengangguk  lalu pergi menjauhiku menuju rumahnya. Aku tidak berhenti memandangnya hingga dia benar-benar hilang di balik tembok rumahnya.setelah itu, aku pun pulang ke rumah dengan perasaan lega bercampur cemas. Lega karena semua beban yang mengisi penuh di hatiku dapat terkuras semua. Cemas karena tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya terhadap pengakuanku tadi kepadanya.
***
            Sejak hari dimana aku mengungkapkan perasaanku kepadanya, Lala banyak berubah. Dia menjadi pendiam. Aku juga tidak berani untuk menanyakan hal itu padanya karena takut membuatnya marah.
Sampai hari ini. hari dimana aku akan berangkat ke Paris, Lala masih membisu. Dia tidak pernah mengabari aku tentang apapun yang berkaitan dengan peristiwa di waktu hujan senja itu. Sikapnya itu seakan mempertegas bahwa dia memang tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Aku hanya dapat pasrah menerima keadaan ini. Akhirnya, dengan sisa-sisa semangat yang ku miliki aku pun beranjak dari tempat tidurku untuk pergi ke Bandara. Beberapa menit lagi pesawat tumpanganku akan lepas landas. Sejenak ku amati kamarku. Aku pasti sangat merindukan tempat ini nantinya. Aku menghela nafas sambil memejamkan mataku. Teringat kembali semua kenangan-kenangan yang tercipta di kotaku ini, terutama di sekolah. Aku tentu sangat merindukan goyangan dangdut si Abdul nantinya, kegilaan-kegilaan penghuni satu kelasku, terlebih lagi adalah Lala. Aku pasti akan sangat merindukan senyumnya.
“ Den. Den Yudha. Mari berangkat” ajak mang Midi yang akan mengantarkanku ke Bandara.
“ Iya, mang.” Jawabku singkat.
Aku pun melangkahkan kaki ku keluar rumah. Tidak lupa aku berpamitan kepada orang tua dan juga saudara-saudaraku. Di depan rumah, Abdul berdiri memandangku sambil tersenyum.
“ Yud, kalau pulang ke sini, aku pesan menara eiffel ya ? canda Abdul.
“ Hahahaha, dasar manusia ontel. Ada-ada saja kau” jawabku.
“ Ini, ada CD nya bang Rhoma Irama. Nanti tolong kau perkenalkan kepada para bule disana. Bilang saja ini musik jazz orang Indonesia. Hahahahah .” Kata Abdul.
“ Hahahaha, Oke,Dul. Asal lah kau senang kawan.” Jawabku bercanda.
Abdul pun menyalamku
“ Baik-baik di sana kawan, semoga sukses. Jangan lupa sama kampung halaman ya.” Kata Abdul
“ Makasih,Dul. Tenang saja, aku pasti akan rajin pulang,kok.” Jawabku.
Aku pun masuk kedalam mobil meninggalkan mereka untuk pergi ke Bandara. Sepanjang perjalanan, ku amati satu per satu bangunan dan jalanan yang pernah menjadi saksi bisu cerita senja ku bersama Lala. Aku hanya dapat menahan sedihku.Terlalu banyak kenanganku bersama Lala, dan terlalu manis untuk dilupakan. Teringat akan Lala. Aku tidak tahu mengapa Lala seperti ini. mengapa dia tidak menampakkan dirinya di saat aku ingin melihatnya sebelum aku merindukannya. Ah, aku tidak tahu. Apakah aku salah telah mengatakan bahasa yang sebenarnya tentang hatiku kepadanya ? entahlah.

“ Hey, mau berangkat ke Paris kok tidak bilang-bilang” kata seseorang yang berada di Akhirnya aku sampai di Bandara. Semakin berat rasanya meninggalkan kota ini. kembali aku hanya dapat memejamkan mata sambil menghela nafas. Namun, semua harus ku lakukan. Ini semua demi mimpi dan cita-citaku yang ingin menjadi seorang arsitek mumpuni.  Menunggu keberangkatan, aku pun duduk di salah satu kursi tunggu Bandara. Aku duduk sendirian. Aku duduk seperti orang memohon doa. Membungkuk dan mengusap-usapkan kedua tanganku ke wajah. Tiba-tiba...
sampingku.
Aku kenal suara itu. suara anggun yang hanya dimiliki oleh seorang gadis di kelas. Ya, Lala. Pasti itu Lala. Seketika aku menoleh ke arahnya, dan benar saja itu adalah Lala. Aku senang luar biasa.
“ Eh, Lala. Kok ada di sini, ada apa ?” tanyaku.
“ Yudha, aku ke sini ya untuk menemui mu lah. Aku kan masih punya hutang padamu. Aku kan belum jawab tentang pernyataanmu di waktu hujan senja itu.” jawab Lala.
“ Oh, iya. Jadi gimana ?” tanya ku.
“ Oke. Dengar dan lihat aku. Pertama, aku begitu kaget mendengar pernyataanmu waktu itu karena sebenaranya aku juga mempunyai rasa yang sama denganmu. Hanya saja aku lebih keras kepala darimu. keras kepalaku membuatku hanya dapat memendam perasaan ini dalam-dalam. Dan sebenarnya aku tidak tahu harus jawab apa.” Jawab Lala
“ Lala, aku tidak memaksamu untuk menjawab pernyataanku itu. Tapi, aku ingin kau percaya. Aku ingin kau percaya terhadap semua perasaanku terhadapmu.” Kata ku pada Lala.
“ Aku percaya. Hanya saja , seperti yang ku katakan tadi, aku lebih keras kepala. Aku selalu menyangkal dan menyangkal. kau tau, sebenarnya aku tak ingin kau pergi, Yud. Aku sudah terlalu nyaman denganmu. Aku sudah mulai terbiasa mendengar suaramu.” Jawab Lala.
“ La, bukan hanya kau yang seperti itu. aku bahkan sudah sedari dulu merasa nyaman denganmu. Itu sebabnya aku menyukaimu dan menantang semua rasa gugup ku saat mengungkapkan isi hatiku ini kepadamu. Itu juga yang menyebabkan aku ingin kau mau menemaniku. ” Kata ku pada Lala.
Lala hanya terdiam. dia membisu seribu bahasa. Aku hanya mencoba memakluminya. Aku tau, ini sulit baginya. Menyatukan cinta yang berbeda itu memang sulit. Tapi, aku tidak berpandangan demikian. Bagiku cinta adalah kodrat manusia yang seharusnya dipatuhi tanpa memandang apapun. Cinta itu seperti air. Putih, bening, dan mengalir ke arah kemanapun dia suka serta apa adanya. Aku masih memikirkan hal ini. hingga tiba-tiba Lala menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Aku tidak berani untuk memintanya mengangkat kembali kepalanya dari bahuku. Aku takut nanti dia akan marah. Dia begitu nyaman di bahuku. Sesekali ku usap rambutnya dan berbisik menyanyikan lagu sendu untuknya.
Sampai ketika pesawat akan lepas landas. Petugas bandara meminta agar semua penumpang bersiap-siap. Aku pun meminta Lala untuk bangun dan membiarkan aku pergi. Aku mencoba membangunkan karena mungkin dia tertidur. Perlahan, aku menyentuh bahunya. Namun dia tak bergeming. Aku kembali menyentuh dan menggoyang-goyangkan bahunya semakin keras. Lagi-lagi dia tidak merespon. Aku mulai cemas.
“ La, bangun La. Aku udah mau berangkat, nih”. Pintaku pada Lala.
Namun, dia tak merespon sedikitpun.
“ La, kau kenapa ? astagaaa...” aku terkejut ketika tanganku bersatu dengan tangannya.
Tangannya begitu dingin. Seperti membeku ditimbun salju kutub utara. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Lala. Dia tidak bangun-bangun walaupun aku sudah berusah membangunkannya. Aku semakin cemas.
“ Tolong...tolong... panggil ambulans, panggil cepat.” Pintaku pada petugas Bandara.
Aku mulai cemas. Aku tidak bisa melihat Lala seperti ini. Aku takut, aku takut terjadi apa-apa pada Lala. Aku takut, ini menjadi pertemuan terakhir bagi kami. Aku mulai menangis. Aku tak dapat membendung air mataku. Aku menumpahkan air mata ini sembari memeluknya erat-erat dan berharap ini bukan pelukan terakhirku untuknya.
Ambulans tiba. Petugas datang menghampiri kami. Petugas menggotong badan Lala dan meletakkannya ke dalam mobil itu. mereka membawa Lala ke Rumah Sakit Bina Harapan yang terletak tidak terlalu jauh dari Bandara. Sementara aku tinggal sejenak di Bandara untuk mengurus dokumen penundaan keberangkatanku ke Paris.
Selang beberapa menit, aku menyusul Lala ke rumah sakit. Aku meneteskan air mata di sepanjang koridor rumah sakit sembari berdoa agar tidak terjadi hal yang tidak ku inginkan terhadap Lala. Dari jauh, ku lihat Abdul duduk di bangku rumah sakit tepat di samping pintu dimana Lala berada. Wajahnya lesu dan matanya sembab pertanda dia baru saja menangis. Aku mendekat.
“Dul, bagaiman kondisi Lala ? bagaimana....bagaimana...” tanyaku cemas pada Abdul.
Abdul tidak menjawab. Dia hanya menghela nafas. Tampak raut mukanya tak seperti biasanya.
“Dul, jawab ! jawab,Dul ! Tegas ku.
Abdul berdiri dan menatapku tajam.
“Yud, Lala sudah pergi. Lala sudah meninggalkan kita semua.” Jawab Abdul sambil memegang bahuku.
Aku membisu. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Ini sungguh tak dapat aku terima. Tangisku akhirnya meledak.
“ Dokter...dokter... Buka pintunya, Dok. Izinkan aku masuk. Dokter.... dok !” pintaku sambil menangis dan menggedor-gedor pintu ruangan dimana Lala ada Didalamnya.
Dokter tidak menghiraukan aku. Abdul mencoba menenangkanku. Aku hanya bisa menagis tanpa berbicaralagi. Aku sudah putus asa. Tubuhku seketika tak bertenaga. Aku lemas. Aku pun duduk dilantai sambil menyembunyikan wajahku diantara kedua lututku yang ku lipat. Aku tak dapat menahan kesedihanku. Mengapa ? mengapa dia yang lebih dahulu meninggalkan dunia ini ? secepat inikah ?. aku tertunduk lesu.
“ Yud, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. sebenarnya Lala sudah mengidap kanker otak stadium 4 dua tahun yang lalu. Dia sengaja merahasiakan hal ini pada semua orang di sekolah.Terutama dirimu. Dia tidak ingin kau merasa kehilangan dirinya. Itu juga sebabnya mengapa dia tak pernah menjawab pertanyaan tentang perasaannya kepadamu. Padahal sebenarnya dia menyukaimu. Hanya saja dia memendamnya dalam-dalam.” Kata Abdul sambil memegang bahuku.
Aku semakin tak percaya ini. bagaimana mungkin Lala yang terlihat kokoh ternyata mengidap penyakit akut seperti ini. Jadi, apakah semua senyum indah itu hanyalah ilusi semata ? apakah semua tawanya itu hanya sekedar sandiwara agar semua orang mengira dia baik-baik saja ? Oh, Tuhan....
“ Yud, ini ada kertas dari Lala. Ini merupakan tulisan terakhirnya. Kertas ini ditulis pagi tadi sebelum Dia pergi menemuimu di Bandara. Dia menitipkan ini padaku untuk memberikannya kepadamu apabila nanti dia sudah pergi” kata Abdul sambil menjulurkan tangannya yang berisi kertas berwana hijau.
Aku menerimanya. Sebenarnya aku tak ingin membuka lipatan kertas itu. Namun, aku harus membacanya. Perlahan-lahan aku aku membukanya dan akhirnya aku semakin larut dalam kesedihan ini. aku tak kuasa membaca tulisan itu. tulisan yang berbunyi “ JIKA SUATU SAAT NANTI AKU MENGHILANG, PERCAYALAH BAHWA AKU MENCINTAIMU” tulisan sederhana dengan tinta berwarna Hitam yang di goreskan pada kertas berwarna hijau namun penuh makna. Aku hanya dapat memeluk kertas itu. Tak kusadari, ternyata air mataku menetes tepat di tubuh kertas hijau itu. Aku menangis bersama hujan yang terjadi saat itu.
Sore ini, rencananya jasad Lala akan di kebumikan. Dan hujan pun mengiringi prosesi pemakamannya. Aku berada di barisan paling depan dari semua pelayat yang mengikuti jasad Lala ke rumah barunya. Aku memegang fotonya. Terlihat keluarga, teman-teman, dan tidak terkecuali aku tak mampu membendung air mata ketika dia mulai di masukkan ke dalam kasur barunya. Kasur terempuk yang membuatnya tidur lelap dan tak akan pernah bangun lagi selamanya.
Prosesi pemakamn pun usai. Doa-doa telah selesai dipanjatkan ke sang Maha Pencipta. Seluruh keluarga, teman, dan pelayat bergegas pergi dari tanah pekuburan ini meninggalkan Lala sendirian. Tidak dengan aku, aku masih tetap bersimpuh di hadapan makamnya. Aku masih ingin bersama Lala. Aku masih ingin memandang senyum Lala yang terkunci kokoh dalam bingkai fotonya. Sesekali aku tersenyum ketika aku mengingat kembali kenangan-kenangan bersamanya. Salah satunya adalah kenangan disaat aku dan Lala saling mangacak-acak rambut masing-masing. Itu merupakan saat-saat yang akan sangat aku rindukan.
Hujan semakin deras namun aku masih belum beranjak dari makam Lala. mengapa ? itu karena aku ingin menikmati hujan hingga senja tiba, bersama Lala. Aku ingin mengulang kembali saat dimana aku mengungkapkan perasaanku pada Lala. aku ingin menikmati hujan dan senja bersamanya untuk yang terakhir kalinya sebelum aku berangkat ke Paris.
“ La, lihat ! begitu indah bukan hujan di senja ini. sama seperti pertama kali aku mengungkapkan perasaanku padamu. Dan sekarang kau malah sudah menyukai hujan lebat. Luar biasa bukan. La, kau boleh tiada dalam dunia nyataku, tapi tidak dalam jiwa dan hatiku. Kau itu masih hidup. Kau masih seperti yang dahulu. Karena ku yakin kau tak akan berubah dan hati ini tau.” aku berbicara kepada makam Lala.
Setelah menikmati hujan di senja itu. aku bergegas pulang karena malam ini juga aku harus berangkat ke Paris. Tak lupa aku berpamitan pada Lala. Aku mencium foto dan makamnya. lalu pergi dengan sesekali menoleh ke arah makamnya. Berat memang rasanya meninggalkan Lala di sini. Namun, Lala pula lah yang memotivasiku untuk meninggalkannya. Dia pernah berkata kepadaku “ Aku sangat bangga jika kau nanti dapat menjadi seorang arsitek terkenal di dunia. Aku pasti tak akan melupakanmu seumur hidupku”. Kata-kata itu membuatku harus meninggalkan Lala demi memegang semua janjiku padanya.
***
            Kini aku sudah berada di Paris. Kota impianku. Tepat di bawah selangkangan menara eiffel aku memejamkan mata untuk kembali mengingat Lala. sosok yang tidak dapat tergantikan seumur hidupku. Tak lupa aku membawa kertas hijau dengan tinta hitam pemberiannya bersamaku. Aku menatap ke arah puncak menara Eiffel seakan-akan Tuhan ada disana. Dalam hati aku berkata “ Tuhan, aku yakin ini memang jalan terbaik dari-MU. Aku menerima ini Tuhan. Jika memang kau tak mengizinkanku bersamanya saat ini, aku mohon izinkan aku bersamanya di masa yang akan datang. Aku mencintai dia Tuhan. Kirimkan salam rinduku padanya ya Tuhan”. Lala, aku yakin kau melihatku dari atas sana. Aku hanya ingin kau tau bahwa aku mencintaimu, La. Aku ingin kau percaya akan perasaan ini, dimana pun kau berada
***
CERPEN :HUJAN DI AKHIR SENJA
CERPEN :HUJAN DI AKHIR SENJA - written by Iman Tumorang , published at 6:58 PM, categorized as Education , Story (Cerpen) . And have 2 comments
2 comments Add a comment
Anonymous
Cerpen yang bagus. Bikin baper :'(
Iman Tumorang
Penulisnya keren. Terimakasih kepada Yudi Syahputra
Reply Delete
Cancel Reply
GetID
Theme designed by Damzaky - Published by Proyek-Template
Powered by Blogger